February 18, 2015

Tentang Kembali ke Sekolah (Bagian 3 - Selesai)


Wawancara (lagi)
Sebulan setelahnya, sebuah email dari Australia Award meniupkan nafas baru untuk kantung harapan saya. Saya, bersama 911 kandidat lainnya, diundang untuk menghadiri wawancara guna memperebutkan 440 beasiswa dari pemerintah Australia. Tidak hanya itu saja, kami juga diundang untuk…. tes IELTS.

Ya Tuhan, not again pleaseeee. Jujur saya agak keder untuk tes IELTS lagi, karena susahnya itu lho T_T.  Anyway, wawancara dan tes IELTS akan dilakukan di awal Januari 2015, dan saya mendapat jatah interview di Makassar.

Tentang Kembali ke Sekolah (Bagian 2)

Akhirnya setelah berpikir sana dan sini, di awal 2013 saya memutuskan: bahwa saya mau sekolah lagi dan ambil jurusan komunikasi atau development practice, di luar negeri, dan harus dengan beasiswa. Harus dengan beasiswa. Sekali lagi, harus dengan beasiswa. Because I can’t afford it if I have to pay it myself and neither my parents.

Ok. langkah pertama adalah punya sertifikasi kemampuan bahasa Inggris. Jujur, saya ngga pernah tes TOEFL atau IELTS sebelumnya, jadi saya bener-bener ngga ngerti prosesnya. However, setelah cari-cari info, akhirnya saya memutuskan untuk ambil tes IELTS, karena diterima di mana saja, walaupun harganya mahal. Selain itu, sedari SMA dulu, saya sudah lebih familiar dengan sistem English kiblat Inggris daripada Amerika.

Sebelum tes, walau sudah punya buku IELTS,  saya tetap memutuskan untuk les intensif di IDP dulu. Ngga pede nih ceritanya, soalnya denger-denger, tesnya tuh susye bener. Juga, investasi biaya tes 2.2 juta akan terasa sia-sia jika hasilnya jelek. Rugi bandar dong.

February 17, 2015

Tentang Kembali ke Sekolah (Bagian 1)

Dari jaman saya masih kerja di advertising, bapak saya selalu mendorong saya untuk sekolah lagi. Kalau dia kepengennya saya sekolah bisnis, lalu kerja di client side, supaya ilmunya terpakai
 dengan baik. Akan tetapi saya selalu berkeras dan menolak ide tersebut. Bukannya apa-apa, saya ngga merasa fit di bidang advertising, terlebih bisnis. Entah kenapa feeling saya menolaknya, walau memang secara logis, kuliah bisnis akan bermanfaat kalau saya mau berkarir di bidang advertising dan marketing.

Tapi masa sih saya kuliah ambil program yang ngga diapproved oleh hati saya? Itu mah mengkhianati diri dong. Di saat itu, saya lagi santer-santernya bertanya ke diri sendiri tentang karir: Apakah bidang yang saya pilih sudah benar? Apakah advertising memang jalan hidup saya? Apakah saya mau kerja di advertising sampai tua nanti? Semakin saya bertanya, semakin saya galau.