December 14, 2014

Nine Things I love About Makassar

 

Desember ini genap sudah 26 bulan saya menetap di Makassar. 

Buat saya, Makassar itu spesial, karena selain merupakan tempat ibu saya dibesarkan, di sinilah saya pertama kalinya tinggal sendiri selama lebih dari setahun dan merasa ‘kerasan’.

Makassar memang bukan kota perantauan saya yang pertama. Tahun 2011 saya pindah dari Jakarta ke Jayapura, Papua untuk bekerja di sebuah NGO di sana. Di Jayapura, saya merasa betah, karena walau fasilitas kotanya sederhana, tapi di sana saya di kelilingi teman-teman yang seperti saudara sendiri. Sayangnya, saya hanya berkesempatan tinggal di Jayapura selama 9 bulan dikarenakan daur project yang telah usai.
Sekembalinya ke Jakarta, saya mulai hunting pekerjaan lagi, dan Alhamdulillah landed on a job that brought me here. Sewaktu saya menandatangani kontrak kerja, saya tak pernah terpikir akan berapa lama di Makassar. Niat saya waktu itu hanya dua: ingin kerja di Sulawesi karena saya belum pernah ke sana, dan ingin mempelajari masyarakatnya. Alhamdulillah setelah setahun ternyata kontrak saya diperpanjang, sehingga sampai sekarang, saya masih menetap di Makassar.

Sejujurnya, saya ini ‘anak kota’ banget. Tipe-tipe anak Jakarta yang minimal sebulan sekali pasti sowan ke mall. Trus saya juga suka nongkrong di coffee shop dan nonton di bioskop. Waktu di Jayapura dulu, agak tersiksa memang batin saya karena pada waktu itu di sana belum ada mall (terus mallnya buka pas saya pulang, tragis ngga tuh). Lupakan kongkow-kongkow ngopi atau mimican (mimik-mimik cantek), yang ada paling nongkrong di ‘Kupang’ (bangku panjang) di depan kantor gubernuran, atau di Dante Café di daerah ruko, atau ya hang out aja bareng anak kosan di warung nasi langganan. Jangankan bioskop, fim terbaru aja harus nunggu dvd atau torrent-nya ada dulu. Dvdnya pun biasanya minta kirimin teman dari Jakarta, soalnya kalau nungguin ada di Jayapura, yasalam saya harus nunggu berapa purnama tuh. Sementara di Makassar, secara dia adalah kota termaju di Indonesia Timur, dan sudah berkembang mirip-mirip Surabaya, maka hal-hal ke-BM-an saya tuh dengan mudahnya terpenuhi.

Selain itu menurut saya Makassar juga punya berbagai pesona yang membuat saya betah. Dan dalam rangka menyambut 26 bulan saya di Makassar, maka saya akan coba membahasnya satu-persatu. Jadi ceritanya ini adalah ‘9 things I love about Makassar’ versi seorang Enggar Paramita :D. Oke, ini dia:

1. Makassar adalah tempat di mana langit selalu biru.
Ceileh banget ye saya. Tapi, sebagai seseorang pencinta langit biru, saya bahagiaaaaaaaaaaaaa banget berkesempatan tinggal di Makassar. Sungguhan, di sini langitnya biru (kecuali pas lagi musim hujan aja kayak sekarang-sekarang ini), terus dihiasi awan fluffy semacam gula-gula kapas. Mau lihat senja spektakuler ngga perlu ke Bali atau Anyer dulu. Tinggal jalan kaki atau naik pete-pete aja. That easy? OF COURSE! Dulu pertama-tama tinggal di sini saya sering bela-belain sore-sore ke pantai untuk lihat matahari tenggelam. Dramatis ya pulang kantor ke pantai, terus duduk sendiri meresap kecantikan semburat cahaya jingga. Sedep ngga tuh. Kalau di Jakarta kecuali kantor ngana di Sunter, ngga bakalan dapet sempet deh sore-sore liat senja di pantai. Ada juga berangkat sore, nyampe abis magrib gara-gara macet. 

2. Pantai terdekat letaknya hanya beberapa blok saja.
Sebenarnya pernyataan ini harus pakai * lengkap dengan klausul: tergantung tempat tinggal kamu di daerah mana. Khusus untuk saya, saya tinggal di daerah seputaran Jl. Cendrawasih dan Jl. A. Mappanyukki yang kalau dilihat dari perhitungannya Google Maps hanya berjarak 1.2 km dari pantai. Asoy kan? Asoy beneur duong kaka. Yah walau memang, Pantai Losari sih gitu-gitu saja. Bukan pantai berpasir unyu macem Kuta atau Double Six, tapi menurut saya tetep saja lumayan, karena pantai ini senjanya bagus, dan yang terpenting: milik umum. Ngga perlu bayar masuk kayak di Ancol untuk bisa lihat laut dan pantai. 

Opsi lainnya untuk pantai yang lebih berpasir dan bisa untuk santai adalah di Pantai Akarena. Walau kalau di Akarena harus bayar tiket masuk. Tapi tenang, ngga semahal Ancol. Lagi-lagi letaknya si Akarena ini dari kos saya ngga jauh, sekitar 5-6 km. Masih termasuk dekat lha ya. Kalau pingin pantai yang lebih bagus lagi, bisa naik boat terus main-main ke Pulau Samalona dan pulau sekitarnya. Sekali lagi hal terbaik dari ini semua adalah semua jaraknya dekat sehingga bisa dilakukan dengan mudah pada saat akhir pekan.

Suatu sore di Pantai Akarena

3. Semua tempat tuh letaknya berdekatan. Everything is in walking distance!.
Poin ini valid dalam kasus saya. Tiap orang bisa punya pengalaman yang berbeda-beda tergantung dari letak tempat tinggal dan jenis kebutuhannya. Juga ini ada faktor bahwa Makassar tidak sebesar Jakarta. Daerah di Makassar ya itu-itu saja. 

Kalau saya, tempat tinggal saya tuh letaknya sangat strategis. Ia berada di ‘kawasan lama’nya kota Makassar, yang dekat dari pantai, namun juga dekat dengan jalan protokol. Saya suka dengan tata kota kawasan lama Makassar, yang menurut saya bagus karena merupakan warisan pemerintah Belanda. Pemetaannya dibuat dalam blok-blok dengan jalanan saling sejajar dengan pola teratur yang membuatnya gampang diingat. Jika dikomparasi, letak kos saya ini kalau di Jakarta Selatan mungkin seperti di Jl. Rasuna Said. Letaknya ngga yang pas di pusatnya, tapi masih dalam kisaran pusat dan cukup strategis. Dari kos saya ke kantor itu hanya jalan kaki 3 menit (serius sedekat itu). Ke mall yang ada bioskop XXI-Hero-Starbucks-Matahari-McD-Body Shop-Erha itu hanya 10 menit (jaraknya sekitar 400 m). Ke KFC, 5 menit. Ke Happy Puppy, 5 menit soalnya letaknya sebelahan sama KFC. Ke Alfamart, 5 menit. Ke ATM, 5 menit. Ke bank, 5 menit. Ke coffee shop, 5 menit. Ke warung pecel favorit, 3 menit. Ke tempat gym dan kolam renang, 15 menit. Ke pantai Losari, 15 menit. Ke dokter gigi, 15 menit. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki. Kalau dengan pete-pete atau taksi maka tempat kopi favorit saya hanya 10 menit, dan ke rumah sakit langganan hanya 5 menit.
Asik banget kan! Semua yang saya butuhkan jaraknya dekat-dekat! Kemewahan macam ini nih yang saya ngga bisa dapatkan di Jakarta.  

4. Lalu lintasnya cenderung lebih bersahabat.
Walau hal ini tergantung letak daerah residensial kita. Jika tinggal di kawasan seputar Jl. Pettarani, di dekat fly over, atau Jl. Urip, ya sering macet juga. Standar sih, pagi hari dan di jam pulang kerja. Juga, di sini kadang macet kalau ada bubaran sekolah atau ada demo. Akan tetapi, seburuk-buruknya macet di Makassar ya ada apa-apanya dibandingkan macetnya Jakarta.

5. Opsi moda transportasinya lumayan bervariasi.
Dulu waktu di Jayapura, saya ngerasain gimana moda transportasi dalam kota hanya ada angkot (yang disebut sebagai ‘taksi’) dan ojek. Kalau mau ke airport atau dari airport pulang ke rumah, harus sewa mobil, yang mana mahal kali. Sedangkan di Makassar, untuk dalam kota ada angkot (yang disebut ‘pete-pete’), dan taksi. Di beberapa tempat juga ada bentor dan becak, yang biasanya digunakan untuk jarak-jarak nanggung. Ojek di sini kurang populer, alias jarang banget saya temui. Sedangkan untuk transportasi dari rumah ke airport atau sebaliknya, bisa naik taksi atau naik bus Damri dari halte tertentu. Lumayan kan?

6. Seafoodnya OMG.
Saya nih anak seafood. Dari dulu di rumah, berhubung emak saya orang Sulawesi, masakannya sering didominasi oleh ikan. Kalau suruh pilih antara lauk ikan, ayam, atau daging, saya dengan mantapnya akan pilih ikan. Dan hamdallah, saya berkesempatan tinggal di tempat-tempat di mana seafoodnya juara. Di Jayapura dulu, seafood enak! Walau biasanya dimasak dengan sambal ala Jawa Timuran karena kebanyakan yang jualan seafood berasal dari sana. Di Makassar sekarang tentu tidak kalah nikmatnya! Memang laut di Indonesia Timur ini kaya banget dengan hasil laut sodara-sodara! 

Ikannya besar-besar banget, berbagai jenis, dan semuanya segar-segar.  Kalaupun cuma dibakar dengan dioleskan bawang putih, rasanya tetep enak dan gurih. Percaya deh, begitu kamu tinggal di Indonesia Timur dan biasa makan seafood di sini, niscaya kamu akan kurang nafsu kalau makan seafood di Jakarta.  Di sini, seringnya kalau makan bareng, tiap orang pesen ikan masing-masing. Satu orang punya satu ikan. Makanya kebayang ngga gimana kagetnya orang-orang Indonesia Timur ketika pergi makan di Jakarta dan disuguhin ikan ukuran sedang tapi untuk beramai-ramai? Ya elah bro, masa segini terus buat bareng-bareng? Ya kelezzz.



7.  It’s a culinary heaven (so they said).
Kalau saya bilang saya tinggal di Makassar, rata-rata respon pertama orang adalah “Wah makanannya enak-enak dong!”, dan memang, makanan di sini enak-enak. Ada seafood, palu basa, es pisang ijo, konro, nasi kuning, coto, sup ubi, pallumara, mie titi, mie awa, kapurung, pisang epe, saraba, nyuknyang (bukan yuk yang lho ya), sop sodara, dll. 

Beragam banget dan menyenangkan untuk dicobain satu-satu. Akan tetapi, buat saya masa-masa honey moon ‘Makassar is culinary heaven’ itu hanya berlangsung beberapa bulan pertama. Kenapa? Karena kalau misalnya kamu tinggal menetap, maka lama-lama akan bosan juga, dan in the end kamu akan cari menu ‘makanan rumahan’ untuk menu sehari-hari. Ini nih, yang agak menantang di Makassar, karena so far saya agak kesulitan nyari warung nasi yang enak. However, tetap aja memang, menurut pengalaman saya, Makassar amat kaya dengan variasi kuliner, jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang saya pernah singgahi. 
Es pisang ijonya kaka
8. Di Makassar, ngopi itu sudah jadi budaya.
Di Makassar, banyak banget tempat kopi bertebaran. Ini tentunya surga buat saya yang doyan kafein. Di sekitar kos saya aja ada dua kedai kopi tradisional yang ngga pernah sepi pengunjung. Kedai kopi macam begini biasanya buka dari pagi jam 6, sampai sore. Menunya sederhana, dengan opsi yang paling banyak dipesan sudah tentu kopi hitam dan kopi susu. 

Salah satu yang paling tenar adalah Warung Kopi Phoenam di Jl. Jampea. Ini andelan saya banget kalau habis lari pagi di Karebosi Link (soalnya deket hehehe). Warkop Phoenam sudah berdiri dari tahun 50-an (or even before that?), dan bentukannya vintage, mulai dari foto-foto pemiliknya dari jaman dahulu kala, lengkap dengan dupa, bahkan sampai kasir enci-enci ‘antik’ dengan tatanan rambut mumpuni yang masih menggunakan sempoa untuk menghitung transaksi. Akan tetapi walau saya adiksi dengan kafein, jujur saya ngga terlalu suka nongkrong di jenis-jenis warkop tersebut. Sebabnya lebih karena saya ngga terlalu suka kopi hitam atau kopi susu yang dihidangkannya. Bukannya ngga terlalu suka sih, tapi cenderung biasa saja. Bukan preference saya gitu ganti. Oleh karenanya saya jejingkrakan seneng tiada tara waktu ada coffee shop yang sesuai di hati, buka di Jl. Bali. Namanya Double Shot, dan tempat ini dijalankan oleh seorang pencinta kopi bernama Koh Herry. 


Menunya yang ditawarkan lebih cucok buat saya, yakni golongan latte, cappuccino-an gitu. Bahkan kita juga bisa pilih mau  Aeropress, Hario Drip, Chemex, Mokka Pot, atau French Press. Koh Herry orangnya baik banget dan suka sharing. Saya dapet banyak pengetahuan setiap kali ngobrol dengan beliau. Yang saya suka, Double Shot ini punya idealisme, yakni hanya menggunakan biji kopi lokal saja. Mereka selain buka coffee shop, juga melayani roasting, dan menjual biji kopi asal berbagai daerah di Sulawesi di bawah bendera ‘Kopi Api’. Ngga hanya itu saja, hal asik lainnya dari Double Shot adalah harga kopinya yang enteng di kantong. Secangkir latte atau cappuccino? Lima belas ribu aja kaka :)

9. Makassar punya mall dan bioskop yang mumpuni.
Ini point penting BANGET buat saya si anak kota. 
Sejauh ini ada 2 mall yang masuk dalam kategori mumpuni saya: Mall Ratu Indah (si mall dekat rumah) dan Trans Mall. Kedua mall ini punya bioskop XXI dengan kualitas yang setara Jakarta dan jadwal film yang sama cepetnya dengan ibu kota. Sejak tinggal di Makassar, sepertinya minimal 2 minggu sekali saya pergi nonton di bioskop. Yang enaknya adalah, karena letak mallnya dekat, saya ngga perlu berangkat jauh lebih awal demi untuk nonton doang. Cukup pergi 30 menit sebelumnya saja sudah cukup. Terlebih-lebih biasanya saya nonton sendiri, jadi walau mepet pun masih dapat tempat duduk yang enak. Ke-effortless-an inilah yang bikin saya seneng, karena semuanya jauh lebih mudah dan ngga ribet. Ngga nambah-nambahin beban stress yang udah menumpuk. 

Sedangkan untuk mall, kedua mall di atas tuh sudah lebih dari cukup untuk saya. Pilihan restoran walau tidak selengkap Jakarta, tapi masih dalam kategori ‘aman’. Opsi merk juga walau lagi-lagi tidak selengkap JKT, tapi tetap OK lah. Bagi saya sejauh ini saya ngga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan. Semuanya bisa diperoleh di kedua mall ini. Lagi pula, sekarang sudah banyak online shop, sehingga keterbatasan opsi merk di mall tersebut bukan masalah.

Nah, sembilan hal di atas lah yang bikin saya senang tinggal di Makassar. Keluhan-keluhan sih pasti ada ya, secara mana ada kota yang sempurna. Akan tetapi di sini saya mencoba melihat dari kaca mata asik-asiknya saja, karena kalau saya mikirin jelek-jeleknya Makassar, malah bikin energi negatif, yang ujung-ujungnya bikin homesick.

Kontrak kerja saya di Makassar masih akan berlangsung sampai Mei tahun depan. Ada kemungkinan diperpanjang lagi, ada juga kemungkinan saya harus pergi. Namun, sampai waktu itu tiba, saya berniat untuk mencecap semua rasa yang ditawarkan kota ini, sembari mematri segala kenangan dalam memori.

Untuk Makassar, kota kedua yang saya cintai setelah Jayapura.

1 comment:

  1. Haloo kak enggar.. Tadinya cm search" Aja di Google tntang review gmn kehidupan di makassar.. Ternyata sampe ke blog kakak.. Soalny dlm wktu dekat ini, ak jg bakal ke sana, bukan kerja sih.. Tp student exchange ke makassar.. Kalo Boleh bisa minta contact kk? Hehee makasih kak reviewnya walaupun gak keseluruhan, Tp sangat membantu.. Hehe

    ReplyDelete