February 18, 2015

Tentang Kembali ke Sekolah (Bagian 3 - Selesai)


Wawancara (lagi)
Sebulan setelahnya, sebuah email dari Australia Award meniupkan nafas baru untuk kantung harapan saya. Saya, bersama 911 kandidat lainnya, diundang untuk menghadiri wawancara guna memperebutkan 440 beasiswa dari pemerintah Australia. Tidak hanya itu saja, kami juga diundang untuk…. tes IELTS.

Ya Tuhan, not again pleaseeee. Jujur saya agak keder untuk tes IELTS lagi, karena susahnya itu lho T_T.  Anyway, wawancara dan tes IELTS akan dilakukan di awal Januari 2015, dan saya mendapat jatah interview di Makassar.

Ok, that’s good pikir saya. Berarti masih ada sekitar 1.5 bulan untuk latihan dan belajar.
Tapi dasar professional procrastinator, lagi-lagi saya baru kebat-kebit belajar saat minggu-minggu terakhir bulan Desember. Baru buka-buka buku IELTS lagi, baca-baca aplikasi, dan memperbaiki FAQ.  Di minggu itu juga saya mendapat berkah. Email dari RNTC memberitahukan bahwa saya terpilih untuk menerima NFP, dan saya akan berangkat ke Belanda bulan Mei 2015 nanti. Course fee, accommodation, flight, uang saku, semua ditanggung. Alhamdulillah! Seneng banget saya, dan ini jadi pemicu untuk makin serius belajar.

Namun apes, di tahun baru saya malah jatuh sakit. Demam naik turun, badan rasanya pegal dan remuk redam. Saya pikir saya kena Chikungunya atau DB. Lalu cek ke RS karena demam tak kunjung reda, namun hasilnya baik-baik saja. Hanya memang kadar sel darah putih meningkat, karena kemungkinan besar sedang ada infeksi. Saya diresepkan penurun panas dan vitamin, tapi tak kunjung membaik. Sempat cek darah lagi, dan tetap negatif. 

“Ok, ini kemungkinan besar viral infection,” vonis dokter. “Harus banyak istirahat, makan yang benar, dan tidak boleh stress,” katanya lagi.
Sorry, sekali lagi, apa dok? Ngga boleh stress? Waduh kayaknya sih sulit ye kalau ngga stress, pikir saya dalam hati.

Buat saya, akhir tahun dan awal Januari kemarin itu adalah masa paling nelangsa selama tiga puluh satu tahun hidup di dunia. Mungkin lebay yah, tapi seriously, seminggu sebelum wawancara paling menentukan kok ya saya justru sakit. Waktu itu saya sedang liburan di Jakarta, dan kudu cepet balik ke Makassar untuk tes IELTS. Udah gitu saya belum belajar IELTS, apalagi latihan interview! To make it even f-ing worse adalah, saya lagi PMS. Dan ketika PMS, badan saya tuh ngga karuan  dan mood saya kacau. Ngga mungkin dalam kondisi seperti itu saya maksain badan untuk belajar. Fokusnya adalah, saya harus sehat dulu, baru bisa ngapa-ngapain.

Pagi itu saat saya harus pulang ke Makassar terasa berat sekali. Dengan enggan, saya melepas pelukan erat ibu saya dan berpamitan. Saya masih belum fit, dan belum siap menghadapi kenyataan bahwa nanti di Makassar, ngga akan ada siapa-siapa. Sakit ketika di rantau itu fucked up banget bro, karena ngga ada yang ngerawat dan merhatiin. You only have yourself. Ditambah lagi, saya sedang mengalami puncak maksimal toleransi akan kesendirian. Saya lelah karena harus ngapa-ngapain sendiri. Bukannya manja, tapi kadang kala ngurus segalanya sendiri itu capek juga lho. Menguras fisik dan mental. Dan sialnya saya mencapai titik puncak keletihan itu di saat kritis seminggu sebelum interview.

Tahu ngga, sepanjang perjalanan di taksi dari rumah ke airport, saya nangis. Sampai di airport, mencoba latihan interview, tapi saya hanya bisa duduk termenung menahan air mata. Di pesawat, sama aja.

Setibanya di kos, saya bersih-bersih kamar, dan lagi-lagi menangis sampai ketiduran. Pathetic banget kan nangis sampai kecapekan dan ketiduran.

Gila deh, it was definitely the lowest point of my life.

Saat itu saya sadar kalau hanya punya 3 hari untuk belajar IELTS dan latihan interview.  Saya harus maksimalkan waktu tersebut. Saya meminta bantuan pacar saya untuk berlatih wawancara via Skype. Saya juga menggerecoki teman kos saya dan minta kesediaannya untuk jadi sparing partner interview.

Tes Lagi, Interview Lagi
Perkara tes IELTS  sudah saya pasrahkan kepada YME. Saya hanya baca-baca beberapa catatan, mencoba membuat tulisan essay pendek, dan berlatih listening. At least, membiasakan dengan tipe soalnya. Selanjutnya, bismillah saja.

Daftar FAQ interview saya bawa ke mana-mana dan saya hapalkan. Latihan interview dengan sparing partner membantu saya untuk melafalkan jawaban dengan singkat dan tepat, berpikir taktis, dan melatih gesture. Proses ini juga membuahkan beberapa pertanyaan potensial tambahan di luar FAQ yang telah disiapkan, yang membuat saya lebih siap menghadapi wawancara.

Seperti yang sudah-sudah, karena dalam kondisi stress, alergi gatel-gatel saya kambuh lagi. Sampai saat tes IELTS pun, saya dalam kondisi bulet-bulet merah. Tapi hamdallah, alergi tersebut ngga sampai menghalangi saya untuk menyelesaikan tes IELTS. Sebenernya menghalangi sih tidak, tapi mengganggu? Sudah tentu.

Anyway, menurut informasi ibu chaperone Australia Award, ada 27 kandidat yang diwawancara di Makassar. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sulawesi, mulai dari Bitung, Palu, Manado, Bone, bahkan juga Papua Barat. Ini karena si kandidat merasa jalur perjalanan ke Makassar lebih nyaman ketimbang ke Jayapura dan interview di sana.

Untuk wawancara sendiri dibagi menjadi 3 hari, berdasarkan urutan nama. Saya kebagian hari pertama, yakni hari Senin, 12 Januari. Para kandidat diharapkan untuk hadir di venue jam 8 pagi.
Malam sebelumnya, saya sengaja makan enak dan tidur cepat. Maksudnya agar mood-nya seneng dan ngga cranky akibat kurang tidur.

Paginya saya telepon ibu dan pacar saya untuk mohon restu.

Jam 7 kurang saya berangkat dari kos, dan tiba di venue setengah jam kemudian.

Ternyata ada 10 kandidat yang akan diwawancara hari itu. Kebanyakan kandidat berhuruf awal ‘A’, membuat saya berada di urutan ke-9, yang mana menurut perhitungan jadwal, akan berlangsung  sekitar jam 1 siang.

Ya Allah. Lama kali kumenunggu. Tapi lagi-lagi ya sudah lah, terima saja.

Saya menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan kandidat lain dan ibu chaperone.
Ngga terasa, satu-persatu kandidat pun pulang, menyisakan saya dan kandidat bernomor urut 10.
Kami menunggu dengan tabah, sembari berdoa agar diberi kelancaran.

Pukul 13.50 saya masuk ke dalam ruangan interview. Ada 2 orang yang menjadi panelis, satu berkebangsaan Indonesia, dan satu lagi Australia. Mereka ramah dan pandai mencairkan suasana, membuat kegugupan saya pun mendadak menguap.

Sesi wawancara saya menitikberatkan pada topik pekerjaan. Saya ditanya tentang pengalaman saya selama bekerja, rencana karir saya nantinya, kenapa beralih dari advertising, rencana penelitian mini-thesis mau seperti apa, termasuk pertanyaan umum tentang kondisi pertanian Indonesia dan apa yang sedang terjadi sekarang. Hamdallah, pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah saya antisipasi. Berbekal pengalaman Fulbright dan juga latihan FAQ, saya sudah menyiapkan jawabannya. Wawancara saya berlangsung singkat sekitar 15 menit, dan saya keluar ruangan dengan perasaan positif. I nailed the interview, and I think they like me.

Saya telepon ibu saya, dan saya ceritakan semuanya. Walau feeling saya bagus, tapi saya ngga berani sombong, karena bisa saja saya mengelabui diri saya sendiri. Hanya perasaan saya aja yang positif, padahal sih biasa-biasa saja.

Pengumuman beasiswa Australia Award akan dilangsungkan di awal Februari. Untuk yang kesekian kalinya, saya menghadapi masa H2C. Draining emosi banget nih. Dalam kurun 3 minggu itu, saya berdoa, dan minta doa dari keluarga dan teman. Di periode tersebut, saya mendapat informasi dari teman bahwa hasil tes IELTS sudah bisa dilihat. Dengan hati jedak jeduk saya buka websitenya IALF, dan memasukkan nomer peserta. Jreng….. hamdallah lumayan… Walau nilai writing saya turun jadi 6.0 (oh noooooo), tapi listening saya melesat ke 8.5. Skor reading dan speaking pun lumayan, sehingga saya dapet total skor 7.5. Alhamdulillah.

Tapi di satu sisi, saya juga sudah pasang rencana gimana kalau ngga keterima. Saya ancer-ancer untuk kecewa, that I downloaded the Australia Award Scholarship 2016 application form. Jaga-jaga, karena kalau ngga keterima kan berarti saya harus mulai isi dari awal lagi formulir aplikasi tersebut.

Setelahnya, selama 2 malam berturut-turut saya sempat mimpi tentang pengumuman beasiswa. Mimpi ngga diterima sampai kaget terbangun tengah malam. Lalu besoknya mimpi diterima, tapi pake drama dulu sedih karena ngga diterima, eh tau-tau ternyata salah baca pengumuman. 
Bener-bener deh ye.

Lalu  hari itu pun tiba.

Saya baru saja ngobrol dengan pak bos, dan selesai teleponan dengan kolega ketika saya lihat ada notifikasi email dari Australia Award. Saya hanya membaca sekilas body emailnya dan saya pikir ini adalah email terima kasih karena malam sebelumnya telah mendownload aplikasi 2016. Eh tapi kok ada attachmentnya ya. Dan ternyata …


“I got it I got it! Australia!!,” pekik saya ke pak bos yang sedang menatap laptopnya.

“Seriously? Oh my god, congratulations! Congratulations! You made it,” katanya sambil menjabat tangan saya. “Though you know that I’m kinda sad coz it means that you’re going to leave us. But hey, congratulations!” sambungnya lagi sambil tersenyum. 

Saya segera menelepon keluarga dan pacar saya untuk memberitahukan kabar gembira ini.

Orang tua saya menangis. Kalau saya ya jangan tanya, sudah pasti mewek.

Ya Tuhan, akhirnya…
Akhirnya saya akan kembali bersekolah.

Words can barely describe how I feel, tapi pokoknya hari itu pengennya senyum terus.

Surat penerimaan beasiswa itu hanyalah sebuah awal dari bab baru di kehidupan saya. Saya paham, kalau dalam perjalanannya bukan tidak mungkin saya akan tersesat, merasa galau, dan putus asa lagi. Saya juga tahu prosesnya tidak akan mudah, namun saya yakin saya bisa menghadapinya. All I have to do is to believe in my self.

Cheers to the new chapter.

5 comments:

  1. wooooww enggar.. selamat yaaaaa..

    keren sekali...

    ReplyDelete
  2. aku selalu percaya, bahwa hal-hal yang baik tidak pernah didapatkan dengan mudah. kalau mudah itu pasti hanya ilusi. selamat ya enggar, semoga kesempatan belajar ini membuka kesempatan yang lain, untuk lebih mengenal the world we live in and their frikkin problems.

    ReplyDelete