December 30, 2017

Perdana ke Puskesmas


Puskesmas dekat rumah. Gambar meminjam dari sini

Dua hari lalu saya perdana pergi ke Puskesmas dekat rumah. Ini gara-gara suami sudah beberapa hari ngga enak badan. Karena takut sakitnya jadi berkepanjangan dan ngga tuntas, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke dokter. Tadinya juga mau ke klinik yang biasa saya datangi, namun karena dengar pengalaman positif si mama berobat di Puskesmas, maka kita tertarik juga untuk coba. 

Ketika pertama kali dengar kata ‘Puskesmas’, apa sih yang ada di pikiran kamu? Kalau saya, kayaknya tuh tempatnya gerah, antreannya gila-gilaan, terus pelayanannya menyedihkan. Ngga percaya deh pokoknya. Saya sendiri seumur-umur ngga pernah ke Puskesmas, jadi kayaknya persepsi ini tuh berdasarkan pengalaman orang-orang sekitar. Mama saya mengafirmasi hal ini, karena suatu hari di tahun 80an dia pergi ke Puskesmas dan mendapatkan kondisi yang ngga enak, plus antrean yang luar biasa, sehingga ia pun ngga jadi berobat. Sejak itu keluarga kami ngga pernah berobat ke Puskesmas, selalu ke klinik atau ke RS. 

Saya pun karena dari dulu selalu dapat asuransi dari kantor, jadinya setiap ke dokter ya pasti di klinik atau RS, lha wong diganti oleh kantor, jadi ya memanfaatkan fasilitas saja. Tapi memang, harga ke dokter di klinik atau RS itu mahal. Sakit biasa aja bisa 200-300 ribu, belum lagi kalau ke dokter spesialis, fee-nya mungkin paling murah 150 ribu (makin senior makin warbiasyak muahal biasanya). Belum lagi biaya obat yang rata-rata non-generik jadinya mahal (iya sih tau biar dapet fee dari perusahaan farmasi, tapi kan…). Anyway, sejak kembali ke Indonesia akhir Juli lalu, status saya non-pegawai (masih freelance ajah cin soalnya), oleh karena itu untuk berobat saya bergantung ke BPJS Kesehatan, yang menyaratkan untuk menggunakan fasilitas kesehatan kelas pertama (yang buat saya jatuhnya di Puskesmas kelurahan). 

Balik lagi ke cerita awal, sebelum berangkat ke Puskesmas, mama saya bilang, biasanya orang-orang akan datang pagi-pagi sebelum buka untuk sekedar ambil nomor. Terus saya jadi deg-degan bakal antre panjang, soalnya ketika kami berangkat itu sudah jam setengah 11 pagi. Tapi ya su lha dicoba aja.

Puskesmas zaman now tuh ternyata bagus ya sodara-sodara. Di daerah saya, berlantai dua dan berkesan modern. Parkirannya pun teratur. Masuk ke Puskesmas, kami disambut meja pendaftaran. Mereka sekarang sudah pakai sistem antrean nomor kayak di bank-bank. Jadi saya ambil nomor terus nanti ada voice over pemberitahuan “Nomor antrian xxx ke pendaftaran”. Dalem hati, wow canggih juga nih sekarang udah pake beginian. Karena suami saya KTP-nya masih DKI Jakarta, maka ia dikenakan biaya 5 ribu untuk pendaftaran. Saat pendaftaran, kita juga ditanya keluhannya apa, sehingga petugas bisa langsung mengarahkan dengan cara ngasih slip warna tertentu. Kalau ngga salah sih beda warna, berarti beda poli yang dituju. 

Meja pendaftaran
Setelah didata, kami disuruh menunggu di dalam. Lagi-lagi ruang tunggunya proper deh. Ber-AC dan ada kursi yang diperuntukkan bagi Lansia. Terus ternyata di Puskesmas saya (daerah Jatibening), ngga hanya ada poli umum, tapi juga ada poli KB, KIA, gigi, dan laboratorium. Apotek untuk nebus pun ada di situ. Lumayan banget untuk pengobatan sehari-hari. Ada ruang menyusui dan pojok bermain anak juga lho! Yah walau mainannya terbatas, tapi ini ok banget! Untuk Puskesmas tingkat kecamatan mungkin akan lebih dahsyat lagi ya. Pilihan polinya lebih beragam, dan ada ruang bersalinnya pula. 




Ngga lama setelah nunggu, suami dipanggil untuk dicek tensi dan didata berat serta tinggi badannya. Setelah itu kami nunggu dipanggil dokter umum. Antreannya sendiri ngga lebay kok. Kami kayaknya hanya nunggu sekitar 20 menit, sudah langsung masuk poli. Dokternya pun menurut saya cukup informatif (asal kitanya juga bawel nanya-nanya). Setelah itu kami diberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Ketika saya tanya ke apoteker harus bayar berapa, dia bilang “Ini gratis bu,”. “Walau ngga pake BPJS gitu?” saya mencoba memastikan. “Iya, sekarang semua gratis,”. Terkejut dan terharu lah awak. 

Obat yang diresepkan semuanya generik, and I’m totally okay with that. Serba minimalis juga pas dikasih ke kita. Tanpa plastik klip, hanya dituliskan harus berapa kali dikonsumsi dengan spidol hitam pada kemasan obat. Walau sudah dijelaskan oleh apoteker, tapi menurut saya ada baiknya juga konsumen minta dituliskan peruntukan obat tersebut oleh apoteker. Karena ngga semua familiar obat apa untuk apa. Terus pastikan lagi, ini tuh sebelum atau sesudah makan, dan jika ribet untuk ditulis di obatnya, maka kita catat sendiri saja di HP. Selain itu saya rasa kita juga harus pintar memilah, mana yang perlu diminum atau tidak, apalagi kalau kita berpegang pada prinsip RUM (Rationale Use of Medicine). Kalau saya perhatikan sepertinya SOP untuk keluhan demam dan radang tenggorokan, most likely akan dikasih antibiotik, parasetamol, dexamethasone. Selain itu, kemarin suami saya juga diresepkan CTM (obat alergi), tapi kami memutuskan untuk tidak mengkonsumsinya, karena kayaknya ngga butuh-butuh amat. 

Informasi obat yang minimalis

Oh iya, hari berikutnya saya tuh balik lagi ke Puskesmas. Kali ini karena mata kanan saya membengkak. Kayak mau bintit, tapi ngga ada calon bintitnya (apa sihhh 😅). Dua hari sebelumnya saya sudah kasih salep Chloramphenicol 1% (lagi-lagi obat generik, beli di apotek, harga hanya 2 ribu!), namun kok makin gatal. Diagnosa dokternya adalah saya kena debu atau serangga, dan ini adalah reaksi alerginya. Olehnya, saya diresepkan paracetamol, antibiotik, dexamethasone, dan vitamin C. Lagi-lagi, kita harus pinter-pinter. Paracetamol ngga saya minum, antibiotik dan dexamethasone saya masih pertimbangkan dulu untuk habisin atau ngga. Kalau vitamin C sih sikat aja. Kemarin karena saya pakai BPJS, maka ngga dikenakan biaya sama sekali. Antreannya pun walau lebih penuh dari hari sebelumnya, tapi masih teratur. Total waktu di Puskesmas, termasuk pendaftaran, nunggu dokter, diperiksa, dan tebus obat tuh kurang lebih 40 menit. Masih make sense. Senang deh! 

Secara keseluruhan, ini jadi pengalaman positif banget. Saya yang tadinya underestimate Puskesmas, ternyata dikasih bukti bahwa pelayanan kesehatan publik Indonesia sudah semakin baik. Prosedur antrean dan pelayanannya profesional! Biayanya murah pula, dan jika pakai BPJS gratis. Mama saya kemarin cek lab untuk gula darah, asam urat, kolesterol hanya kena 18 ribu (itupun karena si mama minta tambahan dicek kolesterolnya juga, dan ini karena by-request pasien, kena biaya). Dan, kalau seperti ini kan kita jadi tahu pemakaian uang pajak kita seperti apa😁. Moga-moga Puskesmas di daerah lain termasuk Indonesia Timur juga begini ya, karena memang sudah seharusnya layanan kesehatan jadi hak segala bangsa!

Sedikit tips untuk yang mau berobat ke Puskesmas:
  1. Harus aktif bertanya ke dokter untuk tahu lebih lanjut soal penyakit, gejala-gejala, pantangan, maupun cara perawatan di rumah.
  2. Catat penggunaan obat untuk apa saja, dan cari tahu info tentang obat tersebut. Jika dirasa tidak perlu-perlu amat, ngga ada salahnya untuk ngga mengkonsumsi obat yang diresepkan.
  3. Jangan lupa infokan dokter tentang alergi obat yang kita punyai. Kemarin suami saya alergi penicilin, dan ini baru disampaikan ke apoteker saat nebus obat. Syukurlah apotekernya tanggap, jadi dia cek ulang ke dokter, dan antibiotiknya diganti dengan golongan lain agar aman.
  4. Karena Puskesmas ngga 24 jam dan Minggu libur, jadi ini memang untuk penyakit yang ngga mengancam. Kalau darurat, kamu tetap harus ke UGD RS.

No comments:

Post a Comment