Desember ini genap sudah 26 bulan saya menetap di Makassar.
Buat saya, Makassar itu
spesial, karena selain merupakan tempat ibu saya dibesarkan, di sinilah saya
pertama kalinya tinggal sendiri selama lebih dari setahun dan merasa ‘kerasan’.
Makassar
memang bukan kota perantauan saya yang pertama. Tahun 2011 saya pindah dari
Jakarta ke Jayapura, Papua untuk bekerja di sebuah NGO di sana. Di Jayapura,
saya merasa betah, karena walau fasilitas kotanya sederhana, tapi di sana saya
di kelilingi teman-teman yang seperti saudara sendiri. Sayangnya, saya hanya
berkesempatan tinggal di Jayapura selama 9 bulan dikarenakan daur project yang
telah usai.
Sekembalinya
ke Jakarta, saya mulai hunting pekerjaan lagi, dan Alhamdulillah landed on a
job that brought me here. Sewaktu saya menandatangani kontrak kerja, saya tak
pernah terpikir akan berapa lama di Makassar. Niat saya waktu itu hanya dua:
ingin kerja di Sulawesi karena saya belum pernah ke sana, dan ingin mempelajari
masyarakatnya. Alhamdulillah setelah setahun ternyata kontrak saya
diperpanjang, sehingga sampai sekarang, saya masih menetap di Makassar.
Sejujurnya,
saya ini ‘anak kota’ banget. Tipe-tipe anak Jakarta yang minimal sebulan sekali
pasti sowan ke mall. Trus saya juga suka nongkrong di coffee shop dan nonton di
bioskop. Waktu di Jayapura dulu, agak tersiksa memang batin saya karena pada
waktu itu di sana belum ada mall (terus mallnya buka pas saya pulang, tragis
ngga tuh). Lupakan kongkow-kongkow ngopi atau mimican (mimik-mimik cantek),
yang ada paling nongkrong di ‘Kupang’ (bangku panjang) di depan kantor
gubernuran, atau di Dante Café di daerah ruko, atau ya hang out aja bareng anak
kosan di warung nasi langganan. Jangankan bioskop, fim terbaru aja harus nunggu
dvd atau torrent-nya ada dulu. Dvdnya pun biasanya minta kirimin teman dari
Jakarta, soalnya kalau nungguin ada di Jayapura, yasalam saya harus nunggu
berapa purnama tuh. Sementara di Makassar, secara dia adalah kota termaju di
Indonesia Timur, dan sudah berkembang mirip-mirip Surabaya, maka hal-hal
ke-BM-an saya tuh dengan mudahnya terpenuhi.
Selain
itu menurut saya Makassar juga punya berbagai pesona yang membuat saya betah.
Dan dalam rangka menyambut 26 bulan saya di Makassar, maka saya akan coba membahasnya
satu-persatu. Jadi ceritanya ini adalah ‘9 things I love about Makassar’ versi
seorang Enggar Paramita :D.
Oke, ini dia:
1. Makassar
adalah tempat di mana langit selalu biru.
Ceileh
banget ye saya. Tapi, sebagai seseorang pencinta langit biru, saya
bahagiaaaaaaaaaaaaa banget berkesempatan tinggal di Makassar. Sungguhan, di
sini langitnya biru (kecuali pas lagi musim hujan aja kayak sekarang-sekarang
ini), terus dihiasi awan fluffy semacam gula-gula kapas. Mau lihat senja
spektakuler ngga perlu ke Bali atau Anyer dulu. Tinggal jalan kaki atau naik
pete-pete aja. That easy? OF COURSE! Dulu pertama-tama tinggal di sini saya
sering bela-belain sore-sore ke pantai untuk lihat matahari tenggelam. Dramatis
ya pulang kantor ke pantai, terus duduk sendiri meresap kecantikan semburat
cahaya jingga. Sedep ngga tuh. Kalau di Jakarta kecuali kantor ngana di Sunter,
ngga bakalan dapet sempet deh sore-sore liat senja di pantai. Ada juga
berangkat sore, nyampe abis magrib gara-gara macet.
2. Pantai
terdekat letaknya hanya beberapa blok saja.
Sebenarnya
pernyataan ini harus pakai * lengkap dengan klausul: tergantung tempat tinggal
kamu di daerah mana. Khusus untuk saya, saya tinggal di daerah seputaran Jl.
Cendrawasih dan Jl. A. Mappanyukki yang kalau dilihat dari perhitungannya
Google Maps hanya berjarak 1.2 km dari pantai. Asoy kan? Asoy beneur duong kaka.
Yah walau memang, Pantai Losari sih gitu-gitu saja. Bukan pantai berpasir unyu
macem Kuta atau Double Six, tapi menurut saya tetep saja lumayan, karena pantai
ini senjanya bagus, dan yang terpenting: milik umum. Ngga perlu bayar masuk
kayak di Ancol untuk bisa lihat laut dan pantai.
Opsi
lainnya untuk pantai yang lebih berpasir dan bisa untuk santai adalah di Pantai
Akarena. Walau kalau di Akarena harus bayar tiket masuk. Tapi tenang, ngga
semahal Ancol. Lagi-lagi letaknya si Akarena ini dari kos saya ngga jauh,
sekitar 5-6 km. Masih termasuk dekat lha ya. Kalau pingin pantai yang lebih
bagus lagi, bisa naik boat terus main-main ke Pulau Samalona dan pulau
sekitarnya. Sekali lagi hal terbaik dari ini semua adalah semua jaraknya dekat
sehingga bisa dilakukan dengan mudah pada saat akhir pekan.
Suatu sore di Pantai Akarena |
3. Semua
tempat tuh letaknya berdekatan. Everything is in walking distance!.
Poin
ini valid dalam kasus saya. Tiap orang bisa punya pengalaman yang berbeda-beda
tergantung dari letak tempat tinggal dan jenis kebutuhannya. Juga ini ada
faktor bahwa Makassar tidak sebesar Jakarta. Daerah di Makassar ya itu-itu
saja.
Kalau
saya, tempat tinggal saya tuh letaknya sangat strategis. Ia berada di ‘kawasan
lama’nya kota Makassar, yang dekat dari pantai, namun juga dekat dengan jalan
protokol. Saya suka dengan tata kota kawasan lama Makassar, yang menurut saya
bagus karena merupakan warisan pemerintah Belanda. Pemetaannya dibuat dalam
blok-blok dengan jalanan saling sejajar dengan pola teratur yang membuatnya
gampang diingat. Jika dikomparasi, letak kos saya ini kalau di Jakarta Selatan
mungkin seperti di Jl. Rasuna Said. Letaknya ngga yang pas di pusatnya, tapi
masih dalam kisaran pusat dan cukup strategis. Dari kos saya ke kantor itu
hanya jalan kaki 3 menit (serius sedekat itu). Ke mall yang ada bioskop XXI-Hero-Starbucks-Matahari-McD-Body
Shop-Erha itu hanya 10 menit (jaraknya sekitar 400 m). Ke KFC, 5 menit. Ke
Happy Puppy, 5 menit soalnya letaknya sebelahan sama KFC. Ke Alfamart, 5 menit.
Ke ATM, 5 menit. Ke bank, 5 menit. Ke coffee shop, 5 menit. Ke warung pecel
favorit, 3 menit. Ke tempat gym dan kolam renang, 15 menit. Ke pantai Losari,
15 menit. Ke dokter gigi, 15 menit. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki. Kalau
dengan pete-pete atau taksi maka tempat kopi favorit saya hanya 10 menit, dan
ke rumah sakit langganan hanya 5 menit.
Asik
banget kan! Semua yang saya butuhkan jaraknya dekat-dekat! Kemewahan macam ini nih
yang saya ngga bisa dapatkan di Jakarta.
4. Lalu
lintasnya cenderung lebih bersahabat.
Walau
hal ini tergantung letak daerah residensial kita. Jika tinggal di kawasan
seputar Jl. Pettarani, di dekat fly over, atau Jl. Urip, ya sering macet juga.
Standar sih, pagi hari dan di jam pulang kerja. Juga, di sini kadang macet
kalau ada bubaran sekolah atau ada demo. Akan tetapi, seburuk-buruknya macet di
Makassar ya ada apa-apanya dibandingkan macetnya Jakarta.
5. Opsi
moda transportasinya lumayan bervariasi.
Dulu
waktu di Jayapura, saya ngerasain gimana moda transportasi dalam kota hanya ada
angkot (yang disebut sebagai ‘taksi’) dan ojek. Kalau mau ke airport atau dari
airport pulang ke rumah, harus sewa mobil, yang mana mahal kali. Sedangkan di
Makassar, untuk dalam kota ada angkot (yang disebut ‘pete-pete’), dan taksi. Di
beberapa tempat juga ada bentor dan becak, yang biasanya digunakan untuk
jarak-jarak nanggung. Ojek di sini kurang populer, alias jarang banget saya
temui. Sedangkan untuk transportasi dari rumah ke airport atau sebaliknya, bisa
naik taksi atau naik bus Damri dari halte tertentu. Lumayan kan?
6. Seafoodnya
OMG.
Saya
nih anak seafood. Dari dulu di rumah, berhubung emak saya orang Sulawesi,
masakannya sering didominasi oleh ikan. Kalau suruh pilih antara lauk ikan,
ayam, atau daging, saya dengan mantapnya akan pilih ikan. Dan hamdallah, saya
berkesempatan tinggal di tempat-tempat di mana seafoodnya juara. Di Jayapura
dulu, seafood enak! Walau biasanya dimasak dengan sambal ala Jawa Timuran
karena kebanyakan yang jualan seafood berasal dari sana. Di Makassar sekarang
tentu tidak kalah nikmatnya! Memang laut di Indonesia Timur ini kaya banget
dengan hasil laut sodara-sodara!
Ikannya besar-besar banget, berbagai jenis, dan semuanya segar-segar. Kalaupun cuma dibakar dengan dioleskan bawang putih, rasanya tetep enak dan gurih. Percaya deh, begitu kamu tinggal di Indonesia Timur dan biasa makan seafood di sini, niscaya kamu akan kurang nafsu kalau makan seafood di Jakarta. Di sini, seringnya kalau makan bareng, tiap orang pesen ikan masing-masing. Satu orang punya satu ikan. Makanya kebayang ngga gimana kagetnya orang-orang Indonesia Timur ketika pergi makan di Jakarta dan disuguhin ikan ukuran sedang tapi untuk beramai-ramai? Ya elah bro, masa segini terus buat bareng-bareng? Ya kelezzz.
Ikannya besar-besar banget, berbagai jenis, dan semuanya segar-segar. Kalaupun cuma dibakar dengan dioleskan bawang putih, rasanya tetep enak dan gurih. Percaya deh, begitu kamu tinggal di Indonesia Timur dan biasa makan seafood di sini, niscaya kamu akan kurang nafsu kalau makan seafood di Jakarta. Di sini, seringnya kalau makan bareng, tiap orang pesen ikan masing-masing. Satu orang punya satu ikan. Makanya kebayang ngga gimana kagetnya orang-orang Indonesia Timur ketika pergi makan di Jakarta dan disuguhin ikan ukuran sedang tapi untuk beramai-ramai? Ya elah bro, masa segini terus buat bareng-bareng? Ya kelezzz.
7. It’s
a culinary heaven (so they said).
Kalau
saya bilang saya tinggal di Makassar, rata-rata respon pertama orang adalah “Wah
makanannya enak-enak dong!”, dan memang, makanan di sini enak-enak. Ada
seafood, palu basa, es pisang ijo, konro, nasi kuning, coto, sup ubi,
pallumara, mie titi, mie awa, kapurung, pisang epe, saraba, nyuknyang (bukan
yuk yang lho ya), sop sodara, dll.
Beragam banget dan menyenangkan untuk dicobain satu-satu. Akan tetapi, buat saya masa-masa honey moon ‘Makassar is culinary heaven’ itu hanya berlangsung beberapa bulan pertama. Kenapa? Karena kalau misalnya kamu tinggal menetap, maka lama-lama akan bosan juga, dan in the end kamu akan cari menu ‘makanan rumahan’ untuk menu sehari-hari. Ini nih, yang agak menantang di Makassar, karena so far saya agak kesulitan nyari warung nasi yang enak. However, tetap aja memang, menurut pengalaman saya, Makassar amat kaya dengan variasi kuliner, jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang saya pernah singgahi.
Beragam banget dan menyenangkan untuk dicobain satu-satu. Akan tetapi, buat saya masa-masa honey moon ‘Makassar is culinary heaven’ itu hanya berlangsung beberapa bulan pertama. Kenapa? Karena kalau misalnya kamu tinggal menetap, maka lama-lama akan bosan juga, dan in the end kamu akan cari menu ‘makanan rumahan’ untuk menu sehari-hari. Ini nih, yang agak menantang di Makassar, karena so far saya agak kesulitan nyari warung nasi yang enak. However, tetap aja memang, menurut pengalaman saya, Makassar amat kaya dengan variasi kuliner, jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang saya pernah singgahi.
Es pisang ijonya kaka |
8. Di
Makassar, ngopi itu sudah jadi budaya.
Di
Makassar, banyak banget tempat kopi bertebaran. Ini tentunya surga buat saya
yang doyan kafein. Di sekitar kos saya aja ada dua kedai kopi tradisional yang
ngga pernah sepi pengunjung. Kedai kopi macam begini biasanya buka dari pagi
jam 6, sampai sore. Menunya sederhana, dengan opsi yang paling banyak dipesan
sudah tentu kopi hitam dan kopi susu.
Salah satu yang paling tenar adalah Warung Kopi Phoenam di Jl. Jampea. Ini andelan saya banget kalau habis lari pagi di Karebosi Link (soalnya deket hehehe). Warkop Phoenam sudah berdiri dari tahun 50-an (or even before that?), dan bentukannya vintage, mulai dari foto-foto pemiliknya dari jaman dahulu kala, lengkap dengan dupa, bahkan sampai kasir enci-enci ‘antik’ dengan tatanan rambut mumpuni yang masih menggunakan sempoa untuk menghitung transaksi. Akan tetapi walau saya adiksi dengan kafein, jujur saya ngga terlalu suka nongkrong di jenis-jenis warkop tersebut. Sebabnya lebih karena saya ngga terlalu suka kopi hitam atau kopi susu yang dihidangkannya. Bukannya ngga terlalu suka sih, tapi cenderung biasa saja. Bukan preference saya gitu ganti. Oleh karenanya saya jejingkrakan seneng tiada tara waktu ada coffee shop yang sesuai di hati, buka di Jl. Bali. Namanya Double Shot, dan tempat ini dijalankan oleh seorang pencinta kopi bernama Koh Herry.
Salah satu yang paling tenar adalah Warung Kopi Phoenam di Jl. Jampea. Ini andelan saya banget kalau habis lari pagi di Karebosi Link (soalnya deket hehehe). Warkop Phoenam sudah berdiri dari tahun 50-an (or even before that?), dan bentukannya vintage, mulai dari foto-foto pemiliknya dari jaman dahulu kala, lengkap dengan dupa, bahkan sampai kasir enci-enci ‘antik’ dengan tatanan rambut mumpuni yang masih menggunakan sempoa untuk menghitung transaksi. Akan tetapi walau saya adiksi dengan kafein, jujur saya ngga terlalu suka nongkrong di jenis-jenis warkop tersebut. Sebabnya lebih karena saya ngga terlalu suka kopi hitam atau kopi susu yang dihidangkannya. Bukannya ngga terlalu suka sih, tapi cenderung biasa saja. Bukan preference saya gitu ganti. Oleh karenanya saya jejingkrakan seneng tiada tara waktu ada coffee shop yang sesuai di hati, buka di Jl. Bali. Namanya Double Shot, dan tempat ini dijalankan oleh seorang pencinta kopi bernama Koh Herry.
Menunya yang
ditawarkan lebih cucok buat saya, yakni golongan latte, cappuccino-an gitu.
Bahkan kita juga bisa pilih mau Aeropress, Hario Drip, Chemex, Mokka Pot, atau
French Press. Koh Herry orangnya baik banget dan suka sharing. Saya dapet
banyak pengetahuan setiap kali ngobrol dengan beliau. Yang saya suka, Double
Shot ini punya idealisme, yakni hanya menggunakan biji kopi lokal saja. Mereka
selain buka coffee shop, juga melayani roasting, dan menjual biji kopi asal
berbagai daerah di Sulawesi di bawah bendera ‘Kopi Api’. Ngga hanya itu saja,
hal asik lainnya dari Double Shot adalah harga kopinya yang enteng di kantong.
Secangkir latte atau cappuccino? Lima belas ribu aja kaka :)
9. Makassar
punya mall dan bioskop yang mumpuni.
Ini point penting BANGET buat saya si anak kota.
Sejauh
ini ada 2 mall yang masuk dalam kategori mumpuni saya: Mall Ratu Indah (si mall
dekat rumah) dan Trans Mall. Kedua mall ini punya bioskop XXI dengan kualitas
yang setara Jakarta dan jadwal film yang sama cepetnya dengan ibu kota. Sejak
tinggal di Makassar, sepertinya minimal 2 minggu sekali saya pergi nonton di
bioskop. Yang enaknya adalah, karena letak mallnya dekat, saya ngga perlu
berangkat jauh lebih awal demi untuk nonton doang. Cukup pergi 30 menit
sebelumnya saja sudah cukup. Terlebih-lebih biasanya saya nonton sendiri, jadi
walau mepet pun masih dapat tempat duduk yang enak. Ke-effortless-an inilah
yang bikin saya seneng, karena semuanya jauh lebih mudah dan ngga ribet. Ngga nambah-nambahin beban stress yang udah menumpuk.
Sedangkan
untuk mall, kedua mall di atas tuh sudah lebih dari cukup untuk saya. Pilihan restoran
walau tidak selengkap Jakarta, tapi masih dalam kategori ‘aman’. Opsi merk juga
walau lagi-lagi tidak selengkap JKT, tapi tetap OK lah. Bagi saya sejauh ini
saya ngga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan. Semuanya bisa diperoleh
di kedua mall ini. Lagi pula, sekarang sudah banyak online shop, sehingga
keterbatasan opsi merk di mall tersebut bukan masalah.
Nah, sembilan
hal di atas lah yang bikin saya senang tinggal di Makassar. Keluhan-keluhan sih
pasti ada ya, secara mana ada kota yang sempurna. Akan tetapi di sini saya
mencoba melihat dari kaca mata asik-asiknya saja, karena kalau saya mikirin jelek-jeleknya
Makassar, malah bikin energi negatif, yang ujung-ujungnya bikin homesick.
Kontrak
kerja saya di Makassar masih akan berlangsung sampai Mei tahun depan. Ada
kemungkinan diperpanjang lagi, ada juga kemungkinan saya harus pergi. Namun,
sampai waktu itu tiba, saya berniat untuk mencecap semua rasa yang ditawarkan kota ini,
sembari mematri segala kenangan dalam memori.
Untuk Makassar,
kota kedua yang saya cintai setelah Jayapura.
Haloo kak enggar.. Tadinya cm search" Aja di Google tntang review gmn kehidupan di makassar.. Ternyata sampe ke blog kakak.. Soalny dlm wktu dekat ini, ak jg bakal ke sana, bukan kerja sih.. Tp student exchange ke makassar.. Kalo Boleh bisa minta contact kk? Hehee makasih kak reviewnya walaupun gak keseluruhan, Tp sangat membantu.. Hehe
ReplyDelete