Puskesmas dekat rumah. Gambar meminjam dari sini |
Dua hari lalu
saya perdana pergi ke Puskesmas dekat rumah. Ini gara-gara suami sudah beberapa
hari ngga enak badan. Karena takut sakitnya jadi berkepanjangan dan ngga
tuntas, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke dokter. Tadinya juga mau ke
klinik yang biasa saya datangi, namun karena dengar pengalaman positif si mama
berobat di Puskesmas, maka kita tertarik juga untuk coba.
Ketika pertama
kali dengar kata ‘Puskesmas’, apa sih yang ada di pikiran kamu? Kalau saya,
kayaknya tuh tempatnya gerah, antreannya gila-gilaan, terus pelayanannya
menyedihkan. Ngga percaya deh pokoknya. Saya sendiri seumur-umur ngga pernah ke Puskesmas, jadi kayaknya
persepsi ini tuh berdasarkan pengalaman orang-orang sekitar. Mama saya
mengafirmasi hal ini, karena suatu hari di tahun 80an dia pergi ke Puskesmas
dan mendapatkan kondisi yang ngga enak, plus antrean yang luar biasa, sehingga
ia pun ngga jadi berobat. Sejak itu keluarga kami ngga pernah berobat ke
Puskesmas, selalu ke klinik atau ke RS.
Saya pun karena
dari dulu selalu dapat asuransi dari kantor, jadinya setiap ke dokter ya pasti
di klinik atau RS, lha wong diganti oleh kantor, jadi ya memanfaatkan fasilitas
saja. Tapi memang, harga ke dokter di klinik atau RS itu mahal. Sakit biasa aja
bisa 200-300 ribu, belum lagi kalau ke dokter spesialis, fee-nya mungkin paling
murah 150 ribu (makin senior makin warbiasyak muahal biasanya). Belum lagi
biaya obat yang rata-rata non-generik jadinya mahal (iya sih tau biar dapet fee
dari perusahaan farmasi, tapi kan…). Anyway, sejak kembali ke Indonesia akhir
Juli lalu, status saya non-pegawai (masih freelance ajah cin soalnya), oleh
karena itu untuk berobat saya bergantung ke BPJS Kesehatan, yang menyaratkan
untuk menggunakan fasilitas kesehatan kelas pertama (yang buat saya jatuhnya di
Puskesmas kelurahan).
Balik lagi ke
cerita awal, sebelum berangkat ke Puskesmas, mama saya bilang, biasanya orang-orang
akan datang pagi-pagi sebelum buka untuk sekedar ambil nomor. Terus saya jadi
deg-degan bakal antre panjang, soalnya ketika kami berangkat itu sudah jam
setengah 11 pagi. Tapi ya su lha dicoba aja.
Puskesmas zaman now tuh ternyata bagus ya sodara-sodara. Di daerah saya, berlantai dua dan berkesan modern. Parkirannya pun teratur. Masuk ke
Puskesmas, kami disambut meja pendaftaran. Mereka sekarang sudah pakai sistem
antrean nomor kayak di bank-bank. Jadi saya ambil nomor terus nanti ada voice
over pemberitahuan “Nomor antrian xxx ke pendaftaran”. Dalem hati, wow canggih
juga nih sekarang udah pake beginian. Karena suami saya KTP-nya masih DKI
Jakarta, maka ia dikenakan biaya 5 ribu untuk pendaftaran. Saat pendaftaran,
kita juga ditanya keluhannya apa, sehingga petugas bisa langsung mengarahkan
dengan cara ngasih slip warna tertentu. Kalau ngga salah sih beda warna, berarti
beda poli yang dituju.
Meja pendaftaran |
Setelah didata,
kami disuruh menunggu di dalam. Lagi-lagi ruang tunggunya proper deh. Ber-AC dan ada kursi yang diperuntukkan bagi Lansia.
Terus ternyata di Puskesmas saya (daerah Jatibening), ngga hanya ada poli umum,
tapi juga ada poli KB, KIA, gigi, dan laboratorium. Apotek untuk nebus pun ada
di situ. Lumayan banget untuk pengobatan sehari-hari. Ada ruang menyusui dan
pojok bermain anak juga lho! Yah walau mainannya terbatas, tapi ini ok banget! Untuk
Puskesmas tingkat kecamatan mungkin akan lebih dahsyat lagi ya. Pilihan polinya
lebih beragam, dan ada ruang bersalinnya pula.
Ngga lama
setelah nunggu, suami dipanggil untuk dicek tensi dan didata berat serta tinggi
badannya. Setelah itu kami nunggu dipanggil dokter umum. Antreannya sendiri
ngga lebay kok. Kami kayaknya hanya nunggu sekitar 20 menit, sudah langsung
masuk poli. Dokternya pun menurut saya cukup informatif (asal kitanya juga
bawel nanya-nanya). Setelah itu kami diberikan resep obat untuk ditebus di
apotek. Ketika saya tanya ke apoteker harus bayar berapa, dia bilang “Ini
gratis bu,”. “Walau ngga pake BPJS gitu?” saya mencoba memastikan. “Iya,
sekarang semua gratis,”. Terkejut dan terharu lah awak.
Obat yang
diresepkan semuanya generik, and I’m totally okay with that. Serba minimalis
juga pas dikasih ke kita. Tanpa plastik klip, hanya dituliskan harus berapa
kali dikonsumsi dengan spidol hitam pada kemasan obat. Walau sudah dijelaskan
oleh apoteker, tapi menurut saya ada baiknya juga konsumen minta dituliskan
peruntukan obat tersebut oleh apoteker. Karena ngga semua familiar obat apa
untuk apa. Terus pastikan lagi, ini tuh sebelum atau sesudah makan, dan jika ribet untuk ditulis di obatnya, maka kita catat sendiri saja di HP. Selain itu saya rasa kita
juga harus pintar memilah, mana yang perlu diminum atau tidak, apalagi kalau
kita berpegang pada prinsip RUM (Rationale Use of Medicine). Kalau saya
perhatikan sepertinya SOP untuk keluhan demam dan radang tenggorokan, most
likely akan dikasih antibiotik, parasetamol, dexamethasone. Selain itu, kemarin
suami saya juga diresepkan CTM (obat alergi), tapi kami memutuskan untuk tidak
mengkonsumsinya, karena kayaknya ngga butuh-butuh amat.
Informasi obat yang minimalis |
Oh iya, hari
berikutnya saya tuh balik lagi ke Puskesmas. Kali ini karena mata kanan saya
membengkak. Kayak mau bintit, tapi ngga ada calon bintitnya (apa sihhh 😅). Dua
hari sebelumnya saya sudah kasih salep Chloramphenicol 1% (lagi-lagi obat
generik, beli di apotek, harga hanya 2 ribu!), namun kok makin gatal. Diagnosa
dokternya adalah saya kena debu atau serangga, dan ini adalah reaksi alerginya.
Olehnya, saya diresepkan paracetamol, antibiotik, dexamethasone, dan vitamin C.
Lagi-lagi, kita harus pinter-pinter. Paracetamol ngga saya minum, antibiotik
dan dexamethasone saya masih pertimbangkan dulu untuk habisin atau ngga. Kalau
vitamin C sih sikat aja. Kemarin karena saya pakai BPJS, maka ngga dikenakan
biaya sama sekali. Antreannya pun walau lebih penuh dari hari sebelumnya, tapi
masih teratur. Total waktu di Puskesmas, termasuk pendaftaran, nunggu dokter,
diperiksa, dan tebus obat tuh kurang lebih 40 menit. Masih make sense. Senang
deh!
Secara
keseluruhan, ini jadi pengalaman positif banget. Saya yang tadinya
underestimate Puskesmas, ternyata dikasih bukti bahwa pelayanan kesehatan
publik Indonesia sudah semakin baik. Prosedur antrean dan pelayanannya
profesional! Biayanya murah pula, dan jika pakai BPJS gratis. Mama saya kemarin
cek lab untuk gula darah, asam urat, kolesterol hanya kena 18 ribu (itupun
karena si mama minta tambahan dicek kolesterolnya juga, dan ini karena
by-request pasien, kena biaya). Dan, kalau seperti ini kan kita jadi tahu pemakaian uang pajak
kita seperti apa😁. Moga-moga Puskesmas di daerah lain termasuk Indonesia Timur
juga begini ya, karena memang sudah seharusnya layanan kesehatan jadi
hak segala bangsa!
Sedikit tips
untuk yang mau berobat ke Puskesmas:
- Harus aktif bertanya ke dokter untuk tahu lebih lanjut soal penyakit, gejala-gejala, pantangan, maupun cara perawatan di rumah.
- Catat penggunaan obat untuk apa saja, dan cari tahu info tentang obat tersebut. Jika dirasa tidak perlu-perlu amat, ngga ada salahnya untuk ngga mengkonsumsi obat yang diresepkan.
- Jangan lupa infokan dokter tentang alergi obat yang kita punyai. Kemarin suami saya alergi penicilin, dan ini baru disampaikan ke apoteker saat nebus obat. Syukurlah apotekernya tanggap, jadi dia cek ulang ke dokter, dan antibiotiknya diganti dengan golongan lain agar aman.
- Karena Puskesmas ngga 24 jam dan Minggu libur, jadi ini memang untuk penyakit yang ngga mengancam. Kalau darurat, kamu tetap harus ke UGD RS.
No comments:
Post a Comment