September 30, 2011

September the 30th

Fourty six years ago, a movement called G30S/PKI undertook a coup d'etat attempt and changed the lives of millions, including my mother's family.

Here's an article I found this morning, written by my uncle (mom's younger brother), that tells stories about the family's aka my family's brief history.

(Article taken from here)

45 tahun lalu Cina mengubah nasib orang Indonesia dan etnis Cina di Indonesia

Friday, 1 October 2010


Iwan Satyanegara Kamah – Jakarta
SAYA pernah berpikir, mengapa pemberontakan oleh golongan komunis dilakukan pada 30 September 1965 malam hari? Mengapa tidak lain hari saja? Sesudahnya atau sebelumnya? Setelah saya coba menganalisa, ternyata mungkin saja pemberontakan itu berharap dapat berhasil tujuannya, tepat keesokan pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Hari itu adalah Hari Revolusi Cina ke 16 atau memperingati Hari Lahir Republik Rakyat Cina pada hari 1 Oktober 1949.
Kok Cina? Ya..negara ini yang dituduh oleh banyak pihak berada di balik (setidaknya) membantu sepenuh hati pemberontak paling kelam dalam sejarah manusia yang tinggal di kepulauan Nusantara sejak Nabi Adam diciptakan Tuhan. Jadi andai pemberontakan itu berhasil, Indonesia yang dipimpin komunis akan bertepatan ulang tahunnya dengan Cina, yaitu 1 Oktober. Bukan 17 Agustus lagi.
Peristiwa berdarah yang gagal itu, telah begitu banyak membawa perubahan mendasar bagi setiap orang, setiap kelompok, keluarga, etnis dan generasi mendatang yang hidup setelah kejadian itu. Perubahan hidup yang tragis, menyedihkan dan juga sangat gelap kelam. Mungkin bagi sekelompok orang yang naik ke tampuk kekuasaan, perubahan itu justru sebaliknya, bermakna hidup baru bergelimang kuasa, wibawa dan harta.
‘ANNUS HORRIBILIS’
Bagi bangsa Indonesia, tahun 1965 yang menjadi usia ke 20 kemerdekaan Republik Indonesia, ternyata menjadi ‘annus horribilis’ (Tahun Malapetaka). Istilah ini saya pinjam dari ucapan Ratu Elizabeth II dari Inggris saat menyebut tahun 1992 sebagai ‘annus horribilis’, karena malapetaka yang menimpa keluarga kerajaan sepanjang tahun itu. Mulai dari perceraian Putra Mahkota Pangeran Charles dan istri, Putri Wales serta beberapa kejadian pahit beruntun lainnya dalam Royal Family.
Tahun itu, 45 tahun lalu, dimulainya perubahan besar-besaran secara mendasar di Indonesia. Hitam menjadi putih, kiri menjadi kanan, malam menjadi siang, atas menjadi bawah dan sebaliknya… Dan ini terjadi hampir dialami oleh semua keluarga di negeri ini dalam sedala sendi kehidupan, termasuk keluarga saya. Lebih dahsyat dari revolusi 17 Agustus 1945 yang justru membawa banyak senyuman.
Saya tak mengalami sama sekali peristiwa kelam tahun 1965 itu. Namun saya merasakan akibat peristiwa berdarah itu yang mengubah jalan hidup keluarga kami dan puluhan juta orang lainnya. Entah mengapa bisa terjadi, peristiwa naas itu bagai tsunami yang menyapu semua tatanan apapun hingga rusak dan terhempas habis.
Sebelum 1965, keluarga saya menetap di kota Makassar sejak 1950, setahun setelah orang tua saya menikah di kota kelahiran mereka, Gorontalo, Sulawesi Utara. Ibu saya pertama kalinya harus keluar kota kelahirannya itu, saat masih belia 21 tahun. Sedangkan ayah saya sebelumnya lama menetap di Makassar. Selama itu  dia banyak menjalin persahabatan dengan banyak tokoh di sana. Mulai dari Wolter Mongisidi, Andi Pangeran, Emmy Saelan, Om Manai Sophiaan, Om Henk Rondonuwu, Om Jusuf (M. Jusuf) dan banyak lagi tokoh lokal  yang saya tak ingat saat ibu saya bercerita semasa hidupnya tentang mereka. Jadi ayah saya menikah hanya seperti “menculik” ibu saya dari kampung halamannya ke Makassar.
Ketika baru tiba sebagai pengantin baru di Makassar bulan April 1950, ibu saya stress karena sering melihat kepala orang dibawa oleh anjing yang lalu lalang di malam hari di halaman rumah mereka, ketika menumpang sementara di bekas kediaman Andi Aziz di Maricaya, Makassar. Tahun itu terjadi pemberontakan Andi Aziz yang banyak menewaskan jiwa manusia. Andi Aziz ini teman sekelas Raja Hussein dari Jordania dan sahabat tokoh Israel Moshe Dayan sewaktu mengikuti pendidikan militer di Sandhurst, Inggris. Jadi mungkin saja, kepala-kepala itu korban tak dikenal dari pemberontakan tersebut. Sama seperti kita sering mendengar orang menemukan mayat hangus terbakar akibat kerusuhan 1998 lalu.
Barulah era dasawarsa 1950-an menjadi masa-masa menyenangkan bagi keluarga kami di Makassar. Keluarga kami akhirnya menempati rumah besar di Jalan Sudirman 44 (persis depan Gubernuran, kantor gubernur Sulawesi Selatan). Rumah itu merangkap kantor pusat Lembaga Kantor Berita Nasional Antara untuk wilayah seluas Indonesia Timur. Ayah saya adalah kepalanya. Tak heran selama itu, 1952-1966, rumah saya ramai seperti pasar. Untunglah terpisah antara rumah tinggal dengan kegiatan kantor berita, yang disekat tembok tebal berlainan ruangan.
Dari beberapa karyawannya yang sering pasang lotre sampai banyak yang meminjam peralatan masak dari ibu saya buat Natalan. Termasuk Pak August Parengkuan (tokoh harian Kompas) yang pernah pinjam peralatan masak buat maminya dan Aziz Hussein (kepala TVRI 1990an, ayah penyanyi Izmi Aziz) yang dijahitkan sarung bantalnya oleh ibu saya untuk alas peraduan ketika mereka menikah. Bahkan adik penyanyi asal Maluku 1980an, Jimmy Samalo, yang bernama Onny, sering mengganggu kakak-kakak saya yang masih kecil-kecil waktu itu. Onny ini tidak pernah sikat gigi dan ingatannya agak rada-rada.
Banyak tokoh-tokoh sering datang dan berteman dengan orang tua saya. “Pak Gatot Subroto pernah datang ke rumah beberapa kali kalau ada tugas ke kota itu”, kenang ibu saya. (Ayah saya wafat ketika saya masih belum sekolah tahun 1972). Pak Rais Abin juga sering pinjam buku koleksi ayah saya, yang ternyata saya tahu, juga pinjaman dari Perpustakaan Benjamin Franklin di Makassar, milik lembaga dari Amerika Serikat. Beberapa koleksinya masih tersimpan di rumah saya. “Wah, ayah ternyata maling juga nih, kok buku nggak pernah dipulangin”…
Nah, kalau malam tiba dan kebetulan ayah saya di rumah, banyak perwira asal Minahasa suka main bridge di rumah. Seperti Om Pantouw, Om Bing Latumahina dan banyak tokoh pemberontakan Permesta lainnya. Permesta adalah pemberontakan setengah hati yang ingin membangkang terhadap Jakarta karena tidak adil membagi rejeki pembangunan kepada daerah-daerah. Anehnya, ketika terjadi pemberontakan tahun 1958, mereka semua berseberangan dengan ayah saya. Padahal kebanyakan pentolan mereka adalah sahabat dan teman main bridge. Namun mereka tetap menjaga persahabatan pribadi di atas segala-segala. Buktinya Om Ventje Sumual, sangat sayang sama ayah saya. Kakak saya begitu mudahnya diterima menjadi karyawannya, ketika Om Ventje berbisnis tahun 1970an berkantor di gedung CTC (sebelah Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya) dan gedung pertama yang memiliki lift di Indonesia). Liftnya kuno seperti lift di apartemen di barat jaman dulu.
Lama berkecimpung dan mencari nafkah di Antara, tentu ayah saya kenal baik dengan tokoh-tokoh lembaga kantor berita tersebut. Sebut saja Adam Malik, Sudiro (bekas walikota Jakarta yang kemudian menjadi Gubernur Sulawesi), Om Djawoto (duta besar RI terakhir di Beijing setelah kejadian 1965) serta Om No (Arnold Monnutu). Om No inilah duta besar pertama RI untuk Cina tahun 1953 dan orang yang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta, ketika menjabat Menteri Penerangan tahun 1949. Saya masih menyimpan beberapa surat Om No untuk ayah saya.
Selama era 1950an dan awal 1960an, orang tua saya menikmati segala peristiwa penting di sana. Mulai dari pembunuhan dan pelemparan granat terhadap Presiden Soekarno, sampai pemberontakan Darul Islam yang dikomando oleh Kahar Muzakkar, tetangga kami. Istrinya yang bule dan berjilbab suka datang ke rumah. Pernah ketika Kahar tertembak mati oleh TNI, ibu saya sempat diajak melihat jenazahnya yang dipamerkan ke kalangan tertentu. Ketika sudah menetap di Jakarta, pernah anaknya Kahar datang ke rumah saya di Jatinegara, meminta buku asli karangan ayahnya, yang kami miliki. Kami tolak dan hanya memberi salinannya.
Ayah saya jarang sekali ada di rumah. Bisa dihitung dengan jari. Namun untungnya, ketika pulang bertugas, sisa foto negatif digunakan untuk memotret anak-anaknya. Jadi koleksi foto kekuarga kami tahun 1950an dan 1960an bejibun jumlahnya. Untuk mengisi kekosongan waktu, ibu saya belajar menjahit kursus menjahit terkenal di Makassar, yang dipimpin Ny. Tan Dusauw. Akhirnya saya menyadari ketrampilan menjahit ibu saya sangat berguna di kemudian hari untuk menghidupkan anak-anaknya, ketika ayah saya sudah meninggal. Kalau ada waktu di rumahpun, sering diisi nonton pertandingan sepakbola di Stasion Mattoangin. Bahkan selama 1950an, ayah saya diajak mengurus PSM Makassar, sampai berkenalan baik dengan Om Nus Pattinasarany (ayah Ronny).
Nah, ketika Om Djawoto naik daun menjadi duta besar RI di Peking (sekarang Beijing), ayah saya mendapat undangan untuk datang ke sana sebagai delegasi wartawan Indonesia, dalam rangka kegiatan Kongres Wartawan Asia Afrika yang dipelopori Om Djawoto. “Waktu mama ke Jakarta tahun 1962 nginapnya di rumah Om Djawoto di Jalan Suwiryo”, kenang ibu saya. Pernah ibu saya terbangun saat bermalam di rumahnya, dan ingin buang air kecil, mendapati Om Djawoto tidur di sofa sambil mendengarkan wayang kulit. “Beliau bangun kalau radionya dimatikan”, kata ibu saya.
Pernah tahun 1989 saya mencoba menghubungi Om Djawoto untuk menyambung silaturahmi yang terputus sekian lama. Namun niat itu urung, karena bisa menjadi masalah baru bagi saya sendiri dan juga keluarga. Tahun itu Pak Harto setelah pulang bertemu Mikhail Gorbachev di Moskow, berkomentar yang menjadi berita nasional. “Para tokoh 1965 silahkan pulang asal mempertanggungjawabkan perbuatan saya”, kata orang nomor satu itu. Ya, kalau salah. Kalau tidak? Apa yang mau dipertanggungjawabkan?
Tahun 1962 pertama kali ibu saya menginjak kaki di tanah Jawa, karena diundang datang ke rumah Pak Dajat Hardjakusumah (ayah kelompok Bimbo), di Jalan Sumatera (?), Bandung. Selama tinggal di Makassar yang kotanya serba teratur (tahun 1950an banyak rumah sudah berlangganan gas untuk memasak). Ketika tiba di Jakarta ibu saya pernah mau muntah ketika memandang dari jendela kantor pusat LKBN Antara di Pasar Baru. Dia melihat beberapa gembel sikat gigi menggunakan air kali di Kali Pasar Baru (depan Kantor pusat LKBN Antara Pasar Baru). “Iiih..joroknya minta ampun”, cerita ibu saya. Sekarang saya sudah kebal dengan pemandangan seperti itu selama 30 tahun lebih tinggal di Jakarta. Bahkan lebih dari itu, buang air besar berdekatan dengan kegiatan mencuci baju dan cuci beras buat masak.
Nah, saat jadi dubes di Beijing, Om Djawoto mengundang ayah saya ke Beijing bersama rombongan wartawan lainnya, termasuk Pak Sunaryo (bekas menteri luar negeri) serta H.G. Rorimpandey (pendiri harian Sinar Harapan). Mereka sempat diterima PM Cina Chou En-lai. Beberapa bulan kemudian ibu saya giliran diundang ke sana, sebagai istri selama 3 bulan keliling bumi negeri tengah, Tiongkok.
Saat itu terjadi peristiwa yang tak mengenakan bagi banyak orang dan juga bagi keluarga kami: pemberontakan 1965. Ibu saya sempat menghadiri peringatan Hari Revolusi Cina 1 Oktober 1965 di Lapangan Tien An Men, Beijing. Saat itu delegasi Indonesia datang, satu dari rombongannya adalah tetangga kami dan teman akrab orang tua saya, Om Jusuf (menhankam RI). Ketika kembali ke Jakarta, terjadilah banyak masalah. Ibu saya diinterogasi di kantor militer di sebelah sekolah Santa Ursula, Lapangan Banteng. Yang interogasi adalah Pak Umar Wirahadikusumah (wakil presiden RI 1983-1988). Anehnya, 40 tahun kemudian saya berteman akrab dengan grandniece-nya (cucu keponakan) dan menjadi teman paling baik sekantor saya sampai kini.

Bagaimana dengan ayah saya? Lebih sinting lagi… Bingung dengan apa yang telah terjadi. Musuh menjadi kawan, kawan menjadi musuh, kawan ya musuh, musuh ya kawan. Semua serba tak jelas. Siapa saya, siapa kamu, siapa kita siapa kamu… Orang dengan mudah memfitnah dan memberi stempel bila ada bukti setitik saja yang ternyata kurang benar bahkan salah sama sekali. Orang lebih bangga disebut perampok atau maling ayam, daripada diteriaki PKI.
Atas perintah Om Jusuf, dia mengamankan ayah saya ke Jakarta di Makassar waktu tidak memungkinkan. Istilah kasarnya dipenjara. Kami sekeluarga tidak tahu apa maksudnya hingga kini. Kalau tidak diamankan lebih parah lagi kejadian yang menimpa keluarga kami. Padahal kami tak tahu menahu dengan komunis (ayah sangat membenci aliran ini). Mungkin ayah saya bekerja di sebuah instansi yang pernah dipimpin oleh Om Djawoto, yang saat tahun 1965 menjabat dubes di Beijing. Salah waktu dan salah semuanya… Om Djawoto sendiri tak tahu apa-apa tentang tragedi itu. Ketika ayah saya mendekam di penjara Salemba beberapa bulan, dia sering melihat para tahanan politik banyak yang jadi gila. Ada yang menyiram tanaman saat hujan deras. Wuah..aneh deh pokoknya. Akhirnya ayah saya dibebaskan tanpa kesalahan apapun oleh Sutopo Juwono, seorang jenderalnya Pak Harto.
Banyak sahabat-sahabat ayah saya jatuh bagaikan terjun tanpa parasut. Ada yang dari asisten Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh menjadi supir taksi dan semua putar haluan untuk menghidupi perut anak-anaknya. Tak ada jalan lain… dunia sudah berubah drastis. Tak tahu bagaimana nasib keturunan etnis Cina yang lebih malang lagi. Kami tidak tahu seberapa malangnya. Masih banyak yang mengalami perlakuan tak manusiawi meski tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Semua pembersihan itu dilakukan secara baik oleh tentara dan dibantu oleh penjilat-penjilatnya untuk mencari aman.
Kehidupan keluarga saya (saya masih balita dan tak begitu merasakan), sangat berubah. Ayah saya terpaksa bekerja apa saja untuk menghidupkan keluarganya. Untungnya tetap sebagai profesi kejiwaannya, wartawan. Prosfesi yang paling saya benci dan tak sukai. Untunglah ada Pak BM Diah, teman baik ayah saya dan diberi pekerjaan sebagai kolomnis di harian miliknya yang sudah mati, ‘Merdeka’. Bahkan ada tokoh kawakan dan donatur Partai Demokrasi Indonesia kala itu, Om Gembel Soediono, yang mengajak ayah saya bekerja sama dengannya dalam bidang media massa. Kami agak sedikit tertolong. Ketika ayah saya wafat, beliaulah yang membiayai prosesi pemakaman ayah saya, sampai kami tidak mengeluarkan uang sepersen pun. Juga ada seorang sahabat baik ayah saya, saya memanggilnya Om Janto (Sujanto, mertua sahabat saya di Baltyra, Anoew), yang banyak meringankan ibu saya secara ekonomi setelah kematian ayah saya.
Setelah kejadian 1965, banyak menyulap nasib orang. Bukan hanya keluarga saya, tetapi juga etnis Cina di Indonesia yang lebih nestapa lagi nasibnya. Kebudayaan mereka tak boleh ditampilkan. Huruf kanji tak boleh ada visualnya di bumi Indonesia sejak 1966. Bahkan bendera Cina tak boleh berkibar di bumi nusantara. Kalau ada kejuaraan atau event olah raga, tetap saja tidak boleh berkibar selama Orde Baru. Bendera Cina diganti dengan bendera instansi olehraga yang diikuti Cina. Jadi kalau ada Kejuaraan Dunia Bulutangkis, bendera Cina diganti dengan bendera IBF (badan dunia bulutangkis). Yaah…gara-gara negara Cina, nasib orang Cina malah melangsa. Kayak jeruk makan jeruk…
Majalah berbahasa asing yang masuk ke Indonesia pun, disensor hitam kalau ada visual huruf Cinanya. Padahal artinya belum tentu bermakna politis. Sinofobia menjangkit selama 3 dasawarsa di Indonesia. Sebaliknya Radio Peking, tak henti-hentinya mengejek dengan kata-kata kasar bila menyiarkan berita tentang Indonesia sejak 1965. Hubungan itu sedikit mencair, ketika Pak Harto tahun 1985 mengadakan hajatan HUT KAA ke 30. Saat itu Menteri Luar Negeri Cina Wu Xueqian diundang ke Jakarta. Pertama kali Pak Harto bersalaman dengan pejabat tinggi Cina sejak jadi presiden. Setelah itu sejak dibuka hubungan diplomatik tahun 1990 ketika PM Cina Li Peng datang ke sini, hubungan mencair dan berubah 180 derajat.
Setelah Indonesia bermusuhan dengan Cina, perlahan-lahan kehidupan keluarga kami banyak berubah. Ayah saya yang ditawari menjadi atase pers di KBRI Moskow, karena sahabatnya, Om Manai Sophiaan (ayah Sophaan) diangkat sebagai dubes di Moskow. Om Manai sangat kenal ayah saya yang menjadi sahabatnya sejak tahun 1940an. Semua tinggal gigit jari…Gigit jari beneran! Terpaksa kami pindah ke Jakarta, luntang lantung dibantu kebaikan teman-teman lama dulu. Dan mereka membantu dengan sepenuh hati. Kami pernah menetap sementara di Jalan Dairi, Tanjung Priuk lalu numpang darurat di Jalan Indramayu, Menteng, akhirnya terdampar di Jatinegara hingga saya dan saudara-saudara saya punya rumah sendiri-sendiri setelah dewasa. Hingga saya kini tinggal di Mampang dan menjadi penulis iseng di Baltyra.
PAHIT DAN MANIS
Selama menjadi janda, saya sering masih kecil mengantar ibu saya pergi ke sahabat-sahabat lama, diantaranya ke rumah Om Jusuf di Teuku Umar. Tante Ely (istri Pak Jusuf) sering memberi sejumlah uang. Saya juga sering dielus kepala saya waktu kecil oleh teman-teman ayah saya. Seperti Tom Anwar (pemimpin harian Bintang Timur) atau Ibu SK Trimurti (istri Sajuti Melik, tukang ketik naskah proklamasi). Mungkin dalam hati mereka, “kasihan amat nih anak, udah yatim piatu, hidupnya susah lagi”.
Pernah ada kejadian yang mengerikan hampir menimpa ibu saya. Ketika akhir 1970an, sahabat baik ayah saya, Om Joesoef Isak, berani menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Nah, ibu saya iseng main ke rumahnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Eh… malah dikasih buku-buku Pram. Kala itu semua bukunya dilarang keras Jaksa Agung Ali Said, SH. “Wah, mama kalau ketahuan polisi bisa ditangkap”, kata kami anak-anaknya.
Yah, semua sudah berlalu. Kami sekeluarga tidak pernah dendam kepada siapapun, termasuk kepada dewa dari kemalangan ini, Pak Harto, presiden RI selama 32 tahun. Kami semua bisa hidup mandiri meski ayah saya tidak pernah menerima pensiunan dari LKBN Antara. Padahal, 100% hidup ayah saya diberikan untuk Antara (1950-1966).
“Brengsek juga tuh Antara”, kata saya dalam hati. Pernah terbetik saya akan mengurus pensiunan ayah saya ketika Ketua KLBN Antara dipegang oleh Mohammad Sobary semasa Presiden Wahid. “Biarin dibayar satu perak saja pensiunnya. Hanya sebagai simbolik pengabdian ayah saya”, alasan saya kepada kakak-kakak saya. Tapi niat itu saya urungkan. Buat apa lagi mengais-ais sisa kenangan pahit.
Untunglah, peristiwa pahit itu terobati sedikit, ketika Presiden Yudhoyono menganugerahi ‘Kartu Pers Nomor Satu” kepada tokoh-tokoh pers Indonesia tahun 2010, antara lain kepada adik kandung ayah saya, MS Kamah, wartawan Antara yang mengabadikan dengan baik perang invasi Presiden Soeharto di Timur Portugis tahun 1975-76. Meski ayah saya dibuang, toh paman saya masih dihargai. Kalau mengalami kebutaan, mata kami yang sebelah saja masih bisa melihat. Masih untung…
Hanya karena ulah negara Cina yang berulang tahun 1 Oktober ini, banyak sekali nasib orang Indonesia yang berubah, termasuk keluarga saya. Biarlah yang sudah, berlalu sudah. Orang harus memikul salibnya masing-masing dalam hidup. Dalam agama saya, Islam, ada istilah pasrah. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sama seperti orang Yahudi yang pasrah di kamar gas semasa perang dunia. Mau diapakan lagi? Toh ternyata ribuan orang Yahudi mati mengenaskan tanpa ditolong oleh AS maupun Vatikan. Ternyata kata itu mudah sekali diucapkan. Tetapi pahit sekali dijalankan. Pahit. (*)


2 comments:

  1. Menarik sekali. Sayang saya baru tahu setelah menulis buku Pak Rais Abin yang baru saja diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan disekapursirihi oleh Pak Jacob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete