Wawancara (lagi)
Sebulan setelahnya, sebuah email dari Australia Award
meniupkan nafas baru untuk kantung harapan saya. Saya, bersama 911 kandidat
lainnya, diundang untuk menghadiri wawancara guna memperebutkan 440 beasiswa
dari pemerintah Australia. Tidak hanya itu saja, kami juga diundang untuk…. tes
IELTS.
Ya Tuhan, not again pleaseeee. Jujur saya agak keder untuk tes IELTS lagi, karena susahnya itu lho T_T. Anyway, wawancara dan tes IELTS akan dilakukan di awal Januari 2015, dan saya mendapat jatah interview di Makassar.
Ya Tuhan, not again pleaseeee. Jujur saya agak keder untuk tes IELTS lagi, karena susahnya itu lho T_T. Anyway, wawancara dan tes IELTS akan dilakukan di awal Januari 2015, dan saya mendapat jatah interview di Makassar.
Ok, that’s good pikir saya. Berarti masih ada sekitar 1.5
bulan untuk latihan dan belajar.
Tapi dasar professional procrastinator, lagi-lagi saya baru
kebat-kebit belajar saat minggu-minggu terakhir bulan Desember. Baru buka-buka
buku IELTS lagi, baca-baca aplikasi, dan memperbaiki FAQ. Di minggu itu juga saya mendapat berkah. Email
dari RNTC memberitahukan bahwa saya terpilih untuk menerima NFP, dan saya akan
berangkat ke Belanda bulan Mei 2015 nanti. Course fee, accommodation, flight,
uang saku, semua ditanggung. Alhamdulillah! Seneng banget saya, dan ini jadi
pemicu untuk makin serius belajar.
Namun apes, di tahun baru saya malah jatuh sakit. Demam naik
turun, badan rasanya pegal dan remuk redam. Saya pikir saya kena Chikungunya
atau DB. Lalu cek ke RS karena demam tak kunjung reda, namun hasilnya baik-baik
saja. Hanya memang kadar sel darah putih meningkat, karena kemungkinan besar sedang
ada infeksi. Saya diresepkan penurun panas dan vitamin, tapi tak kunjung
membaik. Sempat cek darah lagi, dan tetap negatif.
“Ok, ini kemungkinan besar viral infection,” vonis dokter. “Harus
banyak istirahat, makan yang benar, dan tidak boleh stress,” katanya lagi.
Sorry, sekali lagi, apa dok? Ngga boleh stress? Waduh
kayaknya sih sulit ye kalau ngga stress, pikir saya dalam hati.
Buat saya, akhir tahun dan awal Januari kemarin itu adalah masa
paling nelangsa selama tiga puluh satu tahun hidup di dunia. Mungkin lebay yah,
tapi seriously, seminggu sebelum wawancara paling menentukan kok ya saya justru
sakit. Waktu itu saya sedang liburan di Jakarta, dan kudu cepet balik ke Makassar untuk tes IELTS. Udah gitu saya belum
belajar IELTS, apalagi latihan interview! To make it even f-ing worse adalah,
saya lagi PMS. Dan ketika PMS, badan saya tuh ngga karuan dan mood saya kacau. Ngga mungkin dalam
kondisi seperti itu saya maksain badan untuk belajar. Fokusnya adalah, saya
harus sehat dulu, baru bisa ngapa-ngapain.
Pagi itu saat saya harus pulang ke Makassar terasa berat
sekali. Dengan enggan, saya melepas pelukan erat ibu saya dan berpamitan. Saya
masih belum fit, dan belum siap menghadapi kenyataan bahwa nanti di Makassar,
ngga akan ada siapa-siapa. Sakit ketika di rantau itu fucked up banget bro,
karena ngga ada yang ngerawat dan merhatiin. You only have yourself. Ditambah
lagi, saya sedang mengalami puncak maksimal toleransi akan kesendirian. Saya
lelah karena harus ngapa-ngapain sendiri. Bukannya manja, tapi kadang kala
ngurus segalanya sendiri itu capek juga lho. Menguras fisik dan mental. Dan
sialnya saya mencapai titik puncak keletihan itu di saat kritis seminggu
sebelum interview.
Tahu ngga, sepanjang perjalanan di taksi dari rumah ke
airport, saya nangis. Sampai di airport, mencoba latihan interview, tapi saya
hanya bisa duduk termenung menahan air mata. Di pesawat, sama aja.
Setibanya di kos, saya bersih-bersih kamar, dan lagi-lagi
menangis sampai ketiduran. Pathetic banget kan nangis sampai kecapekan dan
ketiduran.
Gila deh, it was
definitely the lowest point of my life.
Saat itu saya sadar kalau hanya punya 3 hari untuk belajar
IELTS dan latihan interview. Saya harus
maksimalkan waktu tersebut. Saya meminta bantuan pacar saya untuk berlatih
wawancara via Skype. Saya juga menggerecoki teman kos saya dan minta
kesediaannya untuk jadi sparing partner interview.
Tes Lagi, Interview Lagi
Perkara tes IELTS sudah saya pasrahkan kepada YME. Saya hanya
baca-baca beberapa catatan, mencoba membuat tulisan essay pendek, dan berlatih
listening. At least, membiasakan dengan tipe soalnya. Selanjutnya, bismillah
saja.
Daftar FAQ interview saya bawa ke mana-mana dan saya
hapalkan. Latihan interview dengan sparing partner membantu saya untuk
melafalkan jawaban dengan singkat dan tepat, berpikir taktis, dan melatih
gesture. Proses ini juga membuahkan beberapa pertanyaan potensial tambahan di
luar FAQ yang telah disiapkan, yang membuat saya lebih siap menghadapi
wawancara.
Seperti yang sudah-sudah, karena dalam kondisi stress,
alergi gatel-gatel saya kambuh lagi. Sampai saat tes IELTS pun, saya dalam
kondisi bulet-bulet merah. Tapi hamdallah, alergi tersebut ngga sampai
menghalangi saya untuk menyelesaikan tes IELTS. Sebenernya menghalangi sih tidak,
tapi mengganggu? Sudah tentu.
Anyway, menurut informasi ibu chaperone Australia Award, ada
27 kandidat yang diwawancara di Makassar. Mereka berasal dari berbagai daerah
di Sulawesi, mulai dari Bitung, Palu, Manado, Bone, bahkan juga Papua Barat.
Ini karena si kandidat merasa jalur perjalanan ke Makassar lebih nyaman
ketimbang ke Jayapura dan interview di sana.
Untuk wawancara sendiri dibagi menjadi 3 hari, berdasarkan
urutan nama. Saya kebagian hari pertama, yakni hari Senin, 12 Januari. Para kandidat
diharapkan untuk hadir di venue jam 8 pagi.
Malam sebelumnya, saya sengaja makan enak dan tidur cepat. Maksudnya
agar mood-nya seneng dan ngga cranky akibat kurang tidur.
Paginya saya telepon ibu dan pacar saya untuk mohon restu.
Jam 7 kurang saya berangkat dari kos, dan tiba di venue
setengah jam kemudian.
Ternyata ada 10 kandidat yang akan diwawancara hari itu.
Kebanyakan kandidat berhuruf awal ‘A’, membuat saya berada di urutan ke-9, yang
mana menurut perhitungan jadwal, akan berlangsung sekitar jam 1 siang.
Ya Allah. Lama kali kumenunggu. Tapi lagi-lagi ya sudah lah,
terima saja.
Saya menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan kandidat
lain dan ibu chaperone.
Ngga terasa, satu-persatu kandidat pun pulang, menyisakan
saya dan kandidat bernomor urut 10.
Kami menunggu dengan tabah, sembari berdoa agar diberi
kelancaran.
Pukul 13.50 saya masuk ke dalam ruangan interview. Ada 2
orang yang menjadi panelis, satu berkebangsaan Indonesia, dan satu lagi
Australia. Mereka ramah dan pandai mencairkan suasana, membuat kegugupan saya
pun mendadak menguap.
Sesi wawancara saya menitikberatkan pada topik pekerjaan.
Saya ditanya tentang pengalaman saya selama bekerja, rencana karir saya
nantinya, kenapa beralih dari advertising, rencana penelitian mini-thesis mau
seperti apa, termasuk pertanyaan umum tentang kondisi pertanian Indonesia dan
apa yang sedang terjadi sekarang. Hamdallah, pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah
saya antisipasi. Berbekal pengalaman Fulbright dan juga latihan FAQ, saya
sudah menyiapkan jawabannya. Wawancara saya berlangsung singkat sekitar 15
menit, dan saya keluar ruangan dengan perasaan positif. I nailed the interview,
and I think they like me.
Saya telepon ibu saya, dan saya ceritakan semuanya. Walau
feeling saya bagus, tapi saya ngga berani sombong, karena bisa saja saya
mengelabui diri saya sendiri. Hanya perasaan saya aja yang positif, padahal sih
biasa-biasa saja.
Pengumuman beasiswa Australia Award akan dilangsungkan di
awal Februari. Untuk yang kesekian kalinya, saya menghadapi masa H2C. Draining
emosi banget nih. Dalam kurun 3 minggu itu, saya berdoa, dan minta doa dari
keluarga dan teman. Di periode tersebut, saya mendapat informasi dari teman
bahwa hasil tes IELTS sudah bisa dilihat. Dengan hati jedak jeduk saya buka
websitenya IALF, dan memasukkan nomer peserta. Jreng….. hamdallah lumayan…
Walau nilai writing saya turun jadi 6.0 (oh noooooo), tapi listening saya
melesat ke 8.5. Skor reading dan speaking pun lumayan, sehingga saya dapet
total skor 7.5. Alhamdulillah.
Tapi di satu sisi, saya juga sudah pasang rencana gimana
kalau ngga keterima. Saya ancer-ancer untuk kecewa, that I downloaded the
Australia Award Scholarship 2016 application form. Jaga-jaga, karena kalau ngga
keterima kan berarti saya harus mulai isi dari awal lagi formulir aplikasi
tersebut.
Setelahnya, selama 2 malam berturut-turut saya sempat mimpi
tentang pengumuman beasiswa. Mimpi ngga diterima sampai kaget terbangun tengah
malam. Lalu besoknya mimpi diterima, tapi pake drama dulu sedih karena ngga
diterima, eh tau-tau ternyata salah baca pengumuman.
Bener-bener deh ye.
Lalu hari itu pun
tiba.
Saya baru saja ngobrol dengan pak bos, dan selesai teleponan
dengan kolega ketika saya lihat ada notifikasi email dari Australia Award. Saya
hanya membaca sekilas body emailnya dan saya pikir ini adalah email terima
kasih karena malam sebelumnya telah mendownload aplikasi 2016. Eh tapi kok ada
attachmentnya ya. Dan ternyata …
“I got it I got it! Australia!!,” pekik saya ke pak bos yang
sedang menatap laptopnya.
“Seriously? Oh my god, congratulations! Congratulations! You
made it,” katanya sambil menjabat tangan saya. “Though you know that I’m kinda
sad coz it means that you’re going to leave us. But hey, congratulations!”
sambungnya lagi sambil tersenyum.
Saya segera menelepon keluarga dan pacar saya untuk
memberitahukan kabar gembira ini.
Orang tua saya menangis. Kalau saya ya jangan tanya, sudah
pasti mewek.
Ya Tuhan, akhirnya…
Akhirnya saya akan kembali bersekolah.
Words can barely describe how I feel, tapi pokoknya hari itu
pengennya senyum terus.
Surat penerimaan beasiswa itu hanyalah sebuah awal dari bab
baru di kehidupan saya. Saya paham, kalau dalam perjalanannya bukan tidak
mungkin saya akan tersesat, merasa galau, dan putus asa lagi. Saya juga tahu prosesnya
tidak akan mudah, namun saya yakin saya bisa menghadapinya. All I have to do is
to believe in my self.
Cheers to the new chapter.
wooooww enggar.. selamat yaaaaa..
ReplyDeletekeren sekali...
aku kok berkaca2 bacanya mbak enggg
ReplyDeleteaku selalu percaya, bahwa hal-hal yang baik tidak pernah didapatkan dengan mudah. kalau mudah itu pasti hanya ilusi. selamat ya enggar, semoga kesempatan belajar ini membuka kesempatan yang lain, untuk lebih mengenal the world we live in and their frikkin problems.
ReplyDeleteAww jangan mewek dong Cep :D
ReplyDeleteThanks Dewi & Dindie!
ReplyDelete