Dari jaman saya masih kerja di advertising, bapak saya selalu mendorong saya untuk sekolah lagi. Kalau dia kepengennya saya sekolah bisnis, lalu kerja di client side, supaya ilmunya terpakai
dengan baik. Akan tetapi saya selalu berkeras dan menolak ide tersebut. Bukannya apa-apa, saya ngga merasa fit di bidang advertising, terlebih bisnis. Entah kenapa feeling saya menolaknya, walau memang secara logis, kuliah bisnis akan bermanfaat kalau saya mau berkarir di bidang advertising dan marketing.
Tapi masa sih saya kuliah ambil program yang ngga diapproved oleh hati saya? Itu mah mengkhianati diri dong. Di saat itu, saya lagi santer-santernya bertanya ke diri sendiri tentang karir: Apakah bidang yang saya pilih sudah benar? Apakah advertising memang jalan hidup saya? Apakah saya mau kerja di advertising sampai tua nanti? Semakin saya bertanya, semakin saya galau.
The thing is, saya kuliah komunikasi dengan jurusan advertising. Bapak saya dulu sempat berkecimpung di bidang advertising. Om saya pun begitu. Lalu selepas kuliah saya kerja di agency. Hidup saya tuh kayak udah jalannya advertising banget. Dan kalau dilihat sepertinya saya udah tahu apa yang saya mau sedari kuliah. Namun, setelah 4 tahun bekerja, kok saya merasa ngga happy.
Perasaan ‘it’s not for me’ tuh semakin membuncah. Dan to make it worse, saya ngga tahu mau berkarir di bidang apa, meski saya tahu itu bukan advertising. Saya lalu mencoba berpikir ulang dan merefleksikan semuanya. Karir saya di advertising biasa aja, bukan termasuk golongan yang smart yang akan dipromosikan. Saya pun merasa saya ngga all-out. Setelah beberapa bulan kontemplasi dan galau ngga jelas, akhirnya tekad pun membulat dan saya memutuskan untuk resign.
Pengunduran diri saya lakukan tanpa punya rencana selanjutnya. Saya sengaja memberikan ‘waktu bernapas’ karena bagi saya keputusan besar harus dilakukan perlahan-lahan dengan tenang. Dan saya memberikan jeda ke diri untuk merasakan apakah keputusan tersebut benar.
Saya nganggur selama 2 bulan. Pergi ke Singapura untuk lihat Bienalle, menonton festival film, dan melakukan hal-hal yang ngga bisa saya lakukan jika saya bekerja. Walau bokek setengah mati, tapi saya senang, beban saya lepas, dan di situ saya tahu saya telah mengambil keputusan yang benar.
Tidak lama setelahnya, saya mencoba peruntungan melamar pekerjaan di bidang development. Kenapa development? Simply karena saya selalu punya ketertarikan di bidang tersebut, dan setelah saya berpikir ulang tentang hidup (ceileh), saya merasa akan lebih bermanfaat dan dapat kepuasan batin ketika saya bekerja di bidang itu.
Kerja di development dan keinginan bersekolah lagi
Singkat cerita, akhirnya saya memulai perjalanan baru di bidang development. Pertengahan 2011 saya hijrah ke Papua selama 9 bulan, lalu Agustus 2012 saya pindah ke Makassar, dan tinggal di sana sejak saat itu.
Sedari saya kerja di Papua, sudah terbersit keinginan untuk sekolah lagi. Keinginan itu menguat terutama sejak bekerja di organisasi tempat saya sekarang. Serius deh, orang mana sih yang ngga keki kalau hampir semua koleganya itu minimal pendidikannya S2? Bahkan banyak yang S3. Udah gitu, kolega-kolega ini nampak pintar (dan gemar) menulis penelitian. Waktu saya berkantor di kantor pusat di Bogor selama bulan pertama orientasi bekerja, hampir setiap minggu ada sharing session penelitian. Awalnya ya ampun gusti, tekanan batin. Tapi lama-kelamaan karena lingkungan saya yang isinya begitu semua, saya makin merasa bahwa pengetahuan dan pengalaman saya masih cetek. Itulah yang memicu saya untuk ‘ngisi’ otak lagi dengan sekolah. Namun pertanyaan berikutnya adalah: ambil jurusan apa? Di mana? Bagaimana pembiayaannya? That’s tough, dan saya butuh waktu 6 bulan untuk memikirkan itu semua.
No comments:
Post a Comment