Akhirnya setelah berpikir sana dan sini, di awal 2013 saya memutuskan: bahwa saya mau sekolah lagi dan ambil jurusan komunikasi atau development practice, di luar negeri, dan harus dengan beasiswa. Harus dengan beasiswa. Sekali lagi, harus dengan beasiswa. Because I can’t afford it if I have to pay it myself and neither my parents.
Ok. langkah pertama adalah punya sertifikasi kemampuan bahasa Inggris. Jujur, saya ngga pernah tes TOEFL atau IELTS sebelumnya, jadi saya bener-bener ngga ngerti prosesnya. However, setelah cari-cari info, akhirnya saya memutuskan untuk ambil tes IELTS, karena diterima di mana saja, walaupun harganya mahal. Selain itu, sedari SMA dulu, saya sudah lebih familiar dengan sistem English kiblat Inggris daripada Amerika.
Sebelum tes, walau sudah punya buku IELTS, saya tetap memutuskan untuk les intensif di IDP dulu. Ngga pede nih ceritanya, soalnya denger-denger, tesnya tuh susye bener. Juga, investasi biaya tes 2.2 juta akan terasa sia-sia jika hasilnya jelek. Rugi bandar dong.
Anyway, ikutlah saya tes. Dua minggu setelahnya deg-degan amit-amit menunggu hasil. Hamdallah, hasilnya lumayan. Skor saya 7.0, dan ini adalah modal utama untuk apply berbagai beasiswa selama 2 tahun ke depan (hasil IELTS berlaku selama 2 tahun).
Nah berikutnya adalah: mau apply beasiswa apa?
Googling lah saya, dan termehek-mehek dengan banyaknya informasi yang ada di internet. Di situ saya masih agak ragu. Ragu ke diri sendiri, apakah qualified untuk dapet beasiswa, secara saya bukan orang yang aktif secara organisasi dan tak punya prestasi. Keraguan atas diri sendiri pun dibumbui dengan nature saya yang termasuk golongan penunda-nunda, bercampur dengan kemalasan untuk put effort isi formulir dan melengkapi persyaratan dokumen. Kelar ngga sih tuh. Ditambah lagi saya agak menganggap remeh hal ini. Aneh padahal kalau dipikir. Udah ragu sama kemampuan diri sendiri, tapi masih nganggap remeh bahwa ini bisa dilakukan nanti-nanti aja. Sistem tarsok tarsok (ntar besok) aja gitu.
Sepertinya juga saya makin ‘tarsok’ karena keder lihat pertanyaan-pertanyaan di formulir beasiswa. Asli bingung mau jawab apa, dan gimana crafting pesannya supaya ciamik. Kelengkapan dokumen yang bersifat ‘optional’ seperti rekomendasi dosen pun karena ya optional jadinya tidak saya penuhi. Terus rencana penelitian juga saya ngga isi, karena mikirnya ‘kan gue maunya yang coursework aja, jadi ngga perlu dong bikin rencanan penelitian’. Alhasil di tahun 2013 itu saya hanya mendaftar untuk 1 beasiswa saja yaitu Australia Awards, dengan kondisi aplikasi yang ‘setengah-setengah’.
Sudah barang tentu kalau setengah-setengah ya ngga akan berhasil. Seperti yang diduga, bulan Desember 2013 saya menerima email berisi penolakan atas aplikasi saya. Sempet sedih bacanya. Mata juga pedih berkaca-kaca. Tapi setelah saya pikir, ya iyalah, aplikasinya bodor gitu, menurut ngana gimana? Nothing is free in this world, kelezz. Dari situ saya bertekad supaya lebih serius ngerjain aplikasi.
2014, Tahun Pendaftaran
Masuk tahun 2014, saya mencoba peruntungan beasiswa lagi. Memang harus saya akui, saya ngga segigih pejuang beasiswa lain yang bener-bener semua beasiswa dari A-Z dicobain. Lagi-lagi karena saya malas, saya hanya fokus di beberapa beasiswa saja. Saya ngga mau ribet dengan beasiswa yang mensyaratkan Letter of Acceptance (LoA) dari universitas dulu. Itu jadi alasan kenapa saya ngga daftar beasiswanya Belanda dan memilih fokus ke 3 beasiswa: USAID Prestasi, Fulbright, dan Australia Award. Baik di AS dan Australia, saya ngejar jurusan yang sama: Communication for Development (di Ohio University) dan Communication for Social Change (di University of Queensland).
Kali ini, saya perhatikan betul persyaratannya. Saya mengontak dosen pembimbing S1 saya dulu dan pulang ke Jakarta untuk bertemu beliau. Selain minta surat rekomendasi, kami banyak berdiskusi sehingga saya makin yakin untuk mengambil jurusan Comm for Dev. Ditambah lagi ternyata dosen saya itu alumnus jurusan tersebut di Ohio University. Nah pertanda kan ya mungkin. Saya juga sungkem kepada supervisor dan kolega saya untuk minta rekomendasi mereka. Supervisor saya dulu undergraduate-nya di Ohio State University juga, dan memang orang Ohio, jadi saya makin sok-sokan bikin ini jadi semangat positif. Ohio deh pokoknya Ohio. Bikin motivation letter untuk Fulbright aja soundtracknya The National. Kenapa? Selain karena The National merupakan salah satu band favorite saya, juga karena mereka tuh orang Ohio. Nah serba Ohio kan :)
Aplikasi USAID Prestasi dan Fulbright ini deadlinenya agak bersinggungan, jadi saya kelimpungan banget nyelesaikan keduanya. Tapi hamdallah bisa selesai tepat waktu. Tinggal tunggu apakah dipanggil interview atau tidak.
Minggu berganti minggu dan April berganti hingga Juni. Ngga denger kabar apa-apa. Mulai kecewa tapi lalu pasrah. Di saat yang bersamaan, saya fokuskan energi untuk mengisi aplikasi Australia Award. Saya konsultasi dengan senior saya yang sedang belajar mengambil jurusan Comm for SC di Uni of Queensland. Saya habiskan weekend demi weekend saya ditemani secangkir latte di kedai kopi favorit sambil mendesain jawaban essay singkat untuk formulir aplikasi. Saya sungkem lagi sama dosen pembimbing dan supervisor saya untuk minta rekomendasi. Beruntung keduanya sangat mendukung. Ngga habis-habisnya mereka menyemangati saya agar tidak putus asa. Terharu deh kalau ngingatnya sekarang. Saya cari literatur tentang Comm for SC dan mulai membaca-baca. Saya menggali lagi tentang jurusan dan universitas yang saya tuju, dan semakin tahu, semakin besar keinginan saya untuk kuliah di sana. Rasanya somehow kayak I belong there. Sekian lama saya diterpa badai kegalauan dan tersesat di labirin, pelan-pelan Tuhan kasih saya petunjuk. Trenyuh banget saat itu. Nangis terharu campur seneng. Akhirnya untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tahu dan yakin apa yang saya mau.
Aplikasi beasiswa Australia Award berhasil saya selesaikan, dan di bulan yang sama, saya sedang giatnya mencari informasi tentang Netherlands Fellowship Programmes (NFP). Pikiran saya, minimal kalau ngga dapet beasiswa, ya dapet kesempatan kursus singkat lah. Saya lalu menyibukkan diri dengan mencari kursus yang tepat bagi saya.
Panggilan Wawancara
Sudah masuk bulan ketujuh tahun 2014 tapi saya belum dengar kabar apa-apa dari USAID Prestasi dan Fulbright. Setiap ada email, langsung penasaran lihat pengirimnya siapa (lebay yah). Sungguh, periode menunggu kabar aplikasi alias masa H2C (Harap-Harap Cemas) adalah saat yang paling ngga ngenakin. Di masa tersebut, ngga ada lagi yang bisa kita lakukan selain berdoa kepada Tuhan YME. Berserah diri, dan tetap berharap untuk kabar baik. Tapi di satu sisi juga harus siap dengan kemungkinan aplikasi yang dikirim gugur.
Tiba-tiba di hari ketujuh di bulan ketujuh, saya mendapat email dari panitia seleksi Fulbright. Mereka mengundang saya untuk interview yang akan dilaksanakan tanggal 11 Juli. Reaksi saya campur baur. Senang, tapi khawatir. Saya baca kembali emailnya dan saya terhenyak sembari mengucap serapah: OH SHITTTT.
Ok, oh shit pertama: saya hanya punya 4 hari untuk mempersiapkan diri mulai dari bikin FAQ, riset kecil-kecilan untuk susun jawaban, dan latihan wawancara pakai bahasa Inggris. Oh shit kedua: saya ngga bisa memakai hak pilih saya, karena sebenarnya saya sudah beli tiket pulang ke Jakarta, supaya bisa ikut pemilu presiden 9 Juli. Ini adalah pemilu pertama yang perkembangannya saya ikuti sepenuh hati, namun pada akhirnya saya tidak bisa berkontribusi gara-gara harus tetap di Makassar. Untuk ‘oh shit kedua’ sih saya cenderung mengikhlaskan saja. Masih ada pemilu berikutnya. Sedangkan untuk ‘oh shit yang pertama’ saya kebat kebit habis. Langsung menghabiskan waktu siang malam di depan laptop bikin FAQ, lalu konsultasi jawaban ke beberapa teman, dan berlatih menjawab.
Selama 4 hari itu tidur saya ngga tenang. Stres banget, dan celakanya kalau saya stres, maka alergi saya gampang kambuh. Asli itu gatel-gatel di seluruh badan bikin saya makin keki. Pada hari wawancara, saya mengambil cuti dan mohon doa dari ibu saya. Interviewnya berlangsung lancar di awal, tapi terus terang saya keteteran menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir yang bersifat umum. Jawaban saya agak kelamaan muter-muternya baru masuk ke inti. However, saya tetep berpikir positif aja. Dari panitia Fulbright bilang pengumumannya akan dilakukan habis lebaran, sekitar Agustus.
Lagi-lagi, masa H2C. Perasaan saya tuh udah diobok-obok banget deh, sedih, deg-degan, kecewa, marah, senang, takut, khawatir, semua campur jadi satu. Di saat itu, saya kembali memusatkan perhatian untuk kursus singkatnya NFP.
Prosedur NFP ini menyarankan agar kita diterima dulu di institusi penyelenggara kursus, baru mendaftar beasiswanya. Saya pun menyiapkan aplikasi untuk mendaftar kursus ‘Using Media for Development’ yang saya taksir di RNTC (Radio Nederland Training Centre). Saya, yang tadinya denial dan menghindar kalau dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan essay singkat tipikal aplikasi beasiswa, akhirnya sampai pada tahap ‘ya udah telen aja’. Saya ngga lagi procrastinate dan menunda-nunda merangkai jawaban untuk essay tersebut. Aplikasi saya serahkan tepat waktu, dan selang 10 hari kemudian saya menerima kabar baik bahwa saya dinyatakan ‘eligible’ oleh RNTC untuk mengikuti kursus ‘Using Media for Development’. Alhamdulillah, satu proses terlewati. Selanjutnya adalah mendaftar beasiswa NFP untuk membiayai kursus tersebut.
Lagi-lagi, saya sungkem ke supervisor saya. Sudah selayaknya beliau lelah liat email saya bertajuk ‘Request for recommendation letter’, akan tetapi ternyata tanggapannya justru positif. Beliau mengecek ulang konten aplikasi dan rekomendasi saya, termasuk grammar dan conciseness jawaban saya. Tak henti-hentinya saya berterima kasih kepada beliau, dan juga bersyukur kepada YME sudah memberikan kesempatan saya untuk bekerja bersama orang hebat seperti dia.
Bulan Agustus dan September pun berlalu. Aplikasi beasiswa untuk RNTC saya kirim, dan sekali lagi, saya menghadapi masa H2C. Email dari Fulbright pun tak kunjung datang. Saya pasrah. Rasanya sih tidak lulus, karena beberapa jawaban saya kurang taktis.
Masuk bulan Oktober saya udah ngga mikirin lagi. Ya sudah lah ya, optimis aja bahwa masih ada harapan di Australia Award dan NFP. Beberapa hari kemudian, datanglah email dari Fulbright yang memberitahukan kegagalan saya. Semakin kempis lah kantung harapan saya. Feeling saya benar, kans saya hanya tinggal Australia Award dan NFP. Saya cuma bisa merapal doa.
No comments:
Post a Comment